gaulislam edisi 173/tahun ke-4
(11 Rabiul Awwal 1432 H/ 14
Februari 2011)
Setiap tanggal 14 Februari, selalu
ada tragedi. Pastinya membuat
kita prihatin, sedih, dan juga
kecewa campur marah. Mengapa
harus prihatin dan sedih, padahal
justru di tanggal 14 Februari itu
banyak orang merayakan hari
kasih sayang? Karena standar
penilaian kita sebagai muslim
seharusnya berbeda dengan
cara pandang orang-orang selain
Islam. Apa yang kita pandang
baik, bisa salah dalam pandangan
mereka. Apa yang mereka
pandang baik, besar mungkin
salah dalam pandangan kita
sebagai muslim. Karena apa?
Karena kita berbeda cara
pandang sejak awal dalam
menyikapi kehidupan ini. Itu letak
masalah yang harus kita
perhatikan.
Contohnya adalah Valentine’s
Day. Banyak orang sigap dan
gempita menyambut hajatan ini.
Duit yang dikeluarkan demi pesta
Valentine ’s Day bukan lagi yang
perlu dinilai rugi, tapi malah
dianggap sebagai investasi.
Alasannya: “Merayakan kasih
sayang, tentu saja perlu
pengorbanan. Uang sekadar alat
tukar untuk membeli apa yang
kita inginkan. Sama seperti
ketika ortu kita mengeluarkan
duit untuk biaya sekolah atau
kuliah kita. Itu tandanya mereka
sayang kepada kita, sehingga
uang yang dimilikinya rela ditukar
dengan biaya pendidikan kita,
dan berharap kita kehidupannya
jadi lebih baik. ”
Benarkah alasan mereka? Belum
tentu, bahkan bisa jadi keliru.
Sebab, yang utama esensinya
bukan pada “cinta dan
pengorbanan untuk cinta”,
tetapi letaknya pada: “apakah
benar atau salah dalam
mengekspresikan cinta dan
pengorbanan itu. ” Di sinilah
perlunya memahami cara
pandang Islam. Kita sebagai
muslim, kadang nggak ngeh
dengan cara Islam mengatur
kehidupan. Inilah letak masalah
kita. Semoga kita mau berpikir
lebih mendalam, jernih dan
ideologis.
Valentine’s Day bukan semata
hari kasih sayang yang netral
tanpa dinodai dengan
kepentingan ideologi. Tidak.
Hajatan Valentine ’s Day memang
disetting sedemikian rupa agar
pesta yang berasal dari tradisi
kaum pagan di jaman Romawi
kuno ini diminati, dianggap
sebagai bagian sakral dalam
kesucian cinta, dijejalkan kepada
benak kaum muslimin bahwa
mereka harus merayakan
Valentine ’s Day atau minimal
menerima sebagai sebuah
realitas yang harus dihargai
dalam kehidupan saat ini. Bahkan
dalam tataran para pemilik
modal, momen Valentine ’s Day
adalah saatnya jualan, saatnya
dagang beragam pernik yang
melekat erat identik dengan
suasana pesta tersebut: coklat,
boneka cupid, gaun pesta, dan
sejenisnya. Begitulah ketika cinta
dianggap netral, lalu disalah
tafsirkan dan bahkan
dikapitalisasi.
Bro en Sis ‘penggila’ gaulislam, di
awal tulisan ini, saya juga
menuliskan bahwa kita
seharusnya kecewa dan marah.
Lho, kenapa harus kecewa dan
marah justru di saat orang
gembira menebarkan aroma
kasih dan sayang? Jiahahah.. itu
cuma kedok sesuai kepentingan
pemilik opini yang sengaja
menyesatkan jalan pikir manusia.
Kita sebagai muslim memang
harusnya kecewa dan marah.
Kecewa campur marah karena
banyak remaja muslim atau para
orang tua dari keluarga muslim
ikut nyebur dan berbasah kuyup
dalam kubangan nista bernama
Valentine ’s Day. Apakah belum
mengerti juga bahwa pesta itu
bukan berasal dari ajaran Islam?
Atau, jika sudah tahu, kenapa
tak mau tahu dengan terus
memaksakan diri menghamba
kepada arus utama penyesatan
opini ini? Well, semoga bukan
karena sombong dan hendak
menantang kebenaran Islam.
Ketika taklid buta
merajalela
Wadduuuh, nih bahasane serius
bener. Hehehe.. sekali-kali
bolehlah kita serius, Bro. Oya,
mungkin sebagian dari kamu
nggak ngeh istilah taklid buta.
Kalo kudu dijelasin sih, taklid itu
artinya mengikuti. Nah, kalo
digabung dengan kata “buta”,
maka jadinya taklid buta alias
ngikutin tanpa tahu alasannya.
Intinya, ngikut forever dah, sing
penting gaul alasan klisenya. Piye
iki rek? (sori pake bahasa planet
Majapahit nih. Hehehe..)
Nah, lebih gawat bin bahaya kalo
taklid buta sudah merajalela di
semua aspek kehidupan dan
melanda semua lapisan
masyarakat. Contohnya ya,
Valentine ’s Day itu. Jelas-jelas
bukan berasal dari Islam, tapi
malah banyak kaum muslimin,
khususnya remaja yang ngikut
aja tanpa tahu masalahnya.
Nggak ngecek bener apa
salahnya, nggak ngerasa harus
meragukan sama sekali.
Sebaliknya malah berprinsip:
“ Hajar aja bleh! Yang penting
gaul, bisa menyalurkan rasa cinta
rame-rame, apalagi difasilitasi
dan diberikan tempat layak
dengan opini yang gemerlap. Apa
itu salah ?” Hadeuuuh.. ciloko
tenan rek, kalo cara berpikir
kamu kayak gini! (backsound:
bisa-bisa diketawain orang gila!
Amit-amit! )
Boyz and galz, kebodohan di
masa lalu seharunya menjadi
pelajaran supaya jangan diulang
di masa sekarang. Eh, nyatanya
kita masih tetap aja menyanjung
nilai-nilai nenek moyang jaman
baheula yang belum tentu benar
semua, apalagi yang sudah jelas
salah.
Kalo tidak tahu gimana? Ya,
jangan nekat ngelakuin. Harus
cari tahu dulu sebelum berbuat.
Menurut Umar bin Khaththab ra:
al-ilmu qobla al- ‘amal (ilmu
dahulu, sebelum beramal). Betul.
Jadi, harus tahu tentang
sesuatu sebelum sesuatu itu
dikerjakan atau diikuti. Allah Swt.
berfirman (yang artinya): “Dan
janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]:
36)
Sobat gaulislam, taklid buta
makin lestari ketika masyarakat
secara massal ogah belajar.
Sepertinya mereka senang
berada dalam zona nyaman
kebodohannya tanpa mau
menerima kebenaran yang ada di
sekitarnya. Buktinya, banyak
orang “Say No to Valentine’s
Day”, eh, mereka enak-enakan
bikin acara “Happy Valentine’s
Day”. Itu kan namanya kalo
bukan bodoh ya nggak mau tahu
alias saudara kembarnya
sombong.
Logika berpikir sederhana kan
gini: “Kok ada sih orang yang
menentang Valentine’s Day?
Kenapa ya?” Nah, itu langkah
awal untuk cari kebenaran.
Bukan malah berpikir: “Ah, itu
kan pendapatnya dia. Pendapat
saya kan ini. ” Waduh, itu sih
secara tidak langsung nggak mau
nyari kebenaran, tapi
mengedepankan pembenaran
(apalagi sesuai hawa nafsunya
semata).
Sebaliknya, orang cerdas dia
juga akan bertanya: “Mengapa
ya ada orang yang bela-belain
bikin acara Valentine ’s Day,
padahal itu kan bukan dari
ajaran Islam ?” Lalu dia tidak
berhenti dengan pertanyaan itu.
Cari jawabannya dan bandingkan
dengan standar yang pasti,yakni
kebenaran ajaran Islam. Insya
Allah ada jawabannya kalo
nyarinya di tempat yang benar.
Jangan di tempat yang salah ya.
Sayangnya, tradisi berpikir
“ skeptis” untuk mencari jawaban
yang benar demi mendapatkan
keyakinan yang utuh dan ajeg
seringkali diabaikan. Banyaknya
sih manut saja kepada pembuat
opini. Padahal, tujuan
memproduksi informasi itu juga
tak lepas dari cara pandang.
Makanya, info dan opini dari
pemilik media satu dengan media
lainnya bisa berbeda. Itu karena
perbedaan kepentingan, Bro en
Sis. Waspadalah! Tetap
berpegang-teguhlah kepada
ajaran Islam.
Lalu bagaimana dalam kondisi
seperti ini? Percayalah kepada
Allah Swt. dan RasulNya dengan
menjadikan Islam sebagai ideologi
kita. Islam yang akan mengatur
segala aspek kehidupan kita, dari
mulai bangun tidur hingga tidur
lagi. Jadikan Islam sebagai jalan
hidup kita. Bagaimana agar tahu
aturan dan batasan dalam Islam?
Ya, belajar deh jawabannya.
Belajar secara intensif dan rutin.
Untuk urusan belajar ini, kru
gaulislam insya Allah bisa bantu
deh. So, kontak aja via email
atau SMS ya.
Cinta tidak netral
Kecintaan orang kafir dengan
cintanya seorang muslim jelas
berbeda. Karena memiliki
pandangan tentang kehidupan
yang berbeda. Maka, tujuan dan
cara menempuhnya juga
berbeda. Bahkan bisa jadi
bertentangan dan menentang
satu sama lain. Itu artinya, cinta
tidak netral (yang netral cuma
band, lho kok jadi ke sini?).
Maka, 14 Februari, bagi kaum
muslimin yang sadar dan beriman,
adalah tragedi salahnya ekspresi
cinta. Gara-gara salah
ekspresikan cinta, maka akan
merusak nilai dan kesucian cinta
itu sendiri. Ujungnya, akan
menghilangkan kehormatan
manusia dan menjerumuskannya
ke dalam kubangan nista hawa
nafsu yang mendompleng
keindahan cinta.
Bro en Sis, dengan demikian.
Sudahlah, tak perlu maksain
ikut-ikutan Valentine ’s Day,
cukup tragedi 14 Februari
berhenti di tahun lalu aja. Jangan
diulang di tahun ini. Sebagai
muslim, yang layak dijadikan
sandaran hanyalah ajaran Islam.
Ideologi Islam. Bukan ajaran lain
atau ideologi lain. Sebab, cara
pandang yang disusupi sebuah
ideologi akan bertentangan dan
bahkan menentang ideologi lain.
Kita, kaum muslimin seharusnya
menyandarkan alasan hanya
kepada ideologi Islam. Bukan
kepada ideologi lain. Jika ada
kaum muslimin yang masih
merengkuh nikmat semu dalam
selingkuh dengan ideologi lain, itu
artinya sedang menempuh jalan
sesat dan perlu disadarkan
sesegera mungkin.
Oya, buat kamu yang penasaran
dengan asal-usul Valentine ’s Day
yang memang bukan berasal dari
ajaran Islam, kita udah bahas di
banyak artikel. Silakan kunjungi
website kami, www.gaulislam.com.
Cari dan dapatkan sepuasnya.
Gratis.
Yuk ah, berbenah diri, jadikan
Islam sebagai cara dan jalan
hidup kita. Belajar dengan rajin
dan tetap semangat berdakwah.
Akhirul keyboard: jaga diri, jaga
keluarga, bebaskan mereka dari
budaya kufur macam Valentine ’s
Day ini. Semangat! [solihin:
osolihin@gaulislam.com]