gaulislam edisi 165/tahun ke-4
(14 Muharam 1432 H/ 20
Desember 2010)
Wah, pastinya saat ini banyak
masyarakat Indonesia pecinta
sepakbola lagi seru-serunya
bersemangat mendukung tim
nasional sepakbola Indonesia.
Gimana nggak, di ajang AFF
Suzuki Cup 2010 ini tim nasional
Indonesia berhasil lolos ke final
setelah menghantam kesebelasan
Filipina 1-0 di Stadion Gelora
Bung Karno, 19 Desember 2010.
Pertandingan leg kedua ini
Indonesia yang jadi tuan rumah
sedikit lebih tenang karena di
pertandingan pertama sudah
mengalahkan Filipina dengan skor
tipis 1-0. Kedua gol yang
bersarang di gawang Filipina
dalam dua pertandingan itu
diborong pemain hasil
naturalisasi, Cristian Gonzales.
Maka di final Indonesia akan
berhadapan (kembali) dengan tim
nasional Malaysia yang di
semifinal berhasil mempermalukan
Vietnam. Mampukah Indonesia
kembali menghancurkan Malaysia
sebagaimana di babak penyisihan
grup dengan skor telak 5-1?
Kita nantikan saja di final yang
akan digelar akhir bulan ini (26
Desember di Kuala Lumpur dan
29 Desember di Jakarta).
Bro en Sis, sejak tim nasional
menang terus di ajang AFF Suzuki
Cup 2010 ini, dukungan banyak
mengalir kepada Irfan Bachdim
dkk. Maka, lagu Garuda di
Dadaku yang dinyanyikan band
Netral sering terdengar di mana-
mana: “Garuda di dadaku/ Garuda
kebanggaanku/ Ku yakin hari ini
pasti menang …/ Kobarkan
semangatmu/ Tunjukkan
keinginanmu/ Ku yakin hari ini
pasti menang …” Hehehe.. ini
adalah penggalan lagu bernuansa
nasionalis abis yang akhir-akhir
ini jadi penyemangat masyarakat
pecinta sepakbola di tanah air
dalam mendukung timnas
sepakbolanya.
Nah, ngomongin seputar
antusiasme masyarakat pecinta
sepakbola, sepertinya mereka
rela mendukung timnas Indonesia
dengan datang langsung ke
stadion. Nggak peduli harus
basah-basahan karena keujanan
saat antri beli tiket. Rela datang
jauh-jauh dari luar kota dengan
modal pas-pasan. Malah saya
pernah baca di media massa ada
seorang kakek asal Pasuruan,
Jawa Timur yang nekat menjual
belasan ayam miliknya demi modal
untuk berangkat ke Senayan
mendukung Firman Utina dkk. Si
kakek tetap semangat datang
ke Jakarta meski menurut
pengakuannya ia harus “perang
dingin” dulu sama istrinya atas
keputusannya tersebut. Ada-ada
saja. Ckckck … sampe sebegitunya
ya?
Bro, menyaksikan fenomena
tersebut, seorang teman waktu
ngobrol dengan saya, dia bilang:
“ Memang sih, kalo permainan
sepakbola itu bagus, maka akan
menumbuhkan industri yang
berputar di situ. Persoalan
menang atau kalah bukan lagi
ukuran utama, karena dengan
disuguhkan aksi asik dari para
pemain bola yang bertanding
saja sudah puas, apalagi kalo
menang ”. Saya setuju dengan
komentarnya. Alasannya, bahwa
memang itulah yang terjadi di
kompetisi Eropa dan Amerika
Latin saat ini.
Di Inggris, sepakbola tumbuh
bukan sekadar olahraga tapi
industri. Penonton selalu
membludak memenuhi stadion di
semua pertandingan yang digelar
akhir pekan. Itu artinya,
gelontoran duit yang berputar di
arena itu sangat menggiurkan.
Selain itu, industri ‘ikutan’
lainnya seperti agen judi jadi
ketiban ‘durian runtuh’. Coba
deh, kalo kamu nonton BPL
(Barclays Premier League) di
Inggris, La Liga di Spanyol atau
Serie A di Italia banyak
perusahaan judi bola berani jadi
sponsor klub. Namanya
ditampilkan di kaos para pemain.
Industri lainnya juga ikut
berputar ketika sepakbola sudah
jadi tambang uang: percetakan,
media massa, transportasi,
penginapan, pakaian,
merchandise, restoran,
perusahaan barang dan jasa
yang memanfaatkan para pemain
untuk model iklannya dan semua
yang terikat-kait mendukung
industri utama sepakbola. Semua
menyatu dalam kebersamaan
mencari untung. Nah, Indonesia
sudah mulai berbenah. ISL
(Indonesia Super League) telah
menumbuhkan harapan para
penggila sepakbola di tanah air.
Jangan heran pula jika lahir
bintang-bintang baru hasil dari
kompetisi tersebut. Sebagian
yang beruntung bakalan
dipanggil memperkuat tim
nasional melawan laga-laga resmi
atas nama negara.
Inilah fenomena yang ada saat
ini, Bro. Dimana masyarakat kita
sudah mulai melirik kembali
sepakbola sebagai hiburan dan
sekaligus harapan menjadikan
kebanggaan atas nama bangsa
dalam kancah sepakbola.
Sehingga bisa disejajarkan
dengan negara lain yang sudah
lebih dahulu maju. Tapi, benarkah
kemenangan di ajang sepakbola
bisa mengangkat harga diri
bangsa? Jangan-jangan itu
hanya hembusan angin surga
dari para kapitalis agar
masyarakat kita tetap mencintai
sepakbola dan menjadikannya
sebagai hiburan. Sementara bagi
para kapitalis sepakbola adalah
tambang uang. Bisa jadi kan?
Bukan tak mungkin, lho.
Indonesia negeri muslim
terbesar, Gan!
Bro en Sis, kira-kira kamu ngerti
nggak dengan subjudul yang
ditulis ini? Yup, sesuai judul edisi
kali ini, maka gaulislam ingin
menangkap momen yang ada
saat ini dengan Islam. Judulnya
pun, kita tulis “ISLAM di Dadaku,
Islam Kebanggaanku”. Benar, jika
banyak kaum muslimin pecinta
sepakbola timnas Indonesia saat
ini rame-rame meneriakkan
“ Garuda di Dadaku”, maka
sebagai seorang muslim sejati,
kita hanya menjadikan Islam
sebagai pedoman hidup kita. Jadi,
nggak salah dong kalo kamu
berani berteriak: “Islam di
Dadaku”; “Aku bangga
menjadikan Islam sebagai
pedoman hidupku ”; “Saat ini,
Islam pasti menang”; “Kuyakin,
Islam pasti berjaya!” dan lain
sebagainya. Keren bukan?
Indonesia adalah negeri
berpenduduk muslim terbesar di
dunia, Gan. Duh, kayaknya agak
malu-maluin deh kalo sampe
jumlah yang banyak itu kini
kualitas kepribadian Islamnya
amat kedodoran. Ketimbang
bangga dengan Islam dan
menjadikannya jalan hidup, malah
bangga dengan timnas
sepakbola, malah rela
mengeluarkan duitnya untuk
nonton pertandingan, malah asik
mencari hiburan dan kebanggaan
semu lainnya. Nggak banget deh.
Oya, saya juga suka sepakbola.
Tapi saya berusaha agar
menikmatinya sekadarnya saja.
Itu pun menontonnya melalui
layar televisi dan jika memang
sedang sepi aktivitas saja.
Sekadar hiburan lah. Tak lebih
tak kurang. Hehehe.. ini bukan
nyombong lho. Tapi kita, kaum
muslimin, sebaiknya sudah paham
hal-hal mana saja yang menjadi
prioritas amalan kita. Yang wajib
tentu saja harus didahulukan,
terus di bawahnya ada amalan
yang sunnah, di bawahnya lagi
baru amalan yang mubah. Itu pun
mau diambil silakan, nggak diambil
juga nggak apa-apa kok.
Namanya aja mubah.
Nah, nonton sepakbola melalui
layar televisi adalah mubah alias
boleh-boleh saja. But, kalo
sengaja dateng ke stadion, maka
hukum yang menyertainya akan
jadi banyak. Kita jadi terkena
larangan bercampur-baur
dengan lawan jenis, belum lagi
kita kesulitan mengontrol orang
di sana, siapa tahu ada yang
bawa miras, ada yang niatnya
mau berantem dan sebagainya.
Jadi perlu kehati-hatian di sini.
Apalagi, jika kemudian kita lebih
mementingkan yang mubah, tapi
shalat yang wajib malah
diabaikan. Maklumlah, kalo jadwal
pertandingan bola jam 19.00
misalnya, maka penonton sudah
harus dimasukkan ke stadion
dari sejak ashar, atau malah
dhuhur. Kalo yang masih mau
shalat, bisa jadi menyempatkan
diri untuk shalat. Tapi, gimana
yang nggak? Emang sih, dosa
ditanggung masing-masing.
Namun, kalo kita membiarkan itu
terjadi di depan kita, dan kita
tahu, maka sama saja kita
mendiamkan kemunkaran. Jadi,
waspadalah!
Boys and gals, Indonesia adalah
negeri muslim terbesar. Jadi,
seharusnya kaum musliminnya
menunjukkan identitas keislaman
dengan benar dan baik. Memang
sih, kalo mau nunjukkin identitas
keislaman itu nggak perlu jadi
besar dulu, yang penting niat
dan caranya benar. Namun apa
boleh buat, sebagai mayoritas
kita juga punya tanggung jawab
moral. Artinya, justru karena
besar, maka akan mudah dilihat
oleh yang lain. Mungkin akan
dijadikan rujukan. Maka, sudah
saatnya energi kita diberikan
kepada Islam. Itu sebabnya
waktu, tenaga, pikiran,
perasaan, dana, jiwa dan apapun
yang bisa kita berikan untuk
kemaslahatan umat Islam dan
kejayaan Islam, mulai kita
tunjukkan. Buktikan kepedulian
kita kepada Islam.
Malu dong, masa’ kalo nonton
sepakbola pengennya datang ke
stadion, rame-rame menikmati
aksi para pemain idola, rela
ngeluarin duit, rela meluangkan
waktu, sepertinya nggak rugi
meskipun badan capek dan pegel.
Semua itu merasa akan terbayar
lunas saat menyaksikan
pertandingan yang membela atas
nama bangsa. Tetapi, pada
faktanya, banyak di antara kita
yang malas datang ke tempat
pengajian, kalo pun diajak teman,
pengennya duduk di bagian
paling belakang, sebagian lagi
bilang nggak ada waktu, dan
alasan lainnya yang intinya
nggak mau nunjukkin kepedulian
kepada Islam. Duh, sedih banget
kan menyaksikan umat Islam
seperti ini. Lebih cinta dunia
ketimbang mengumpulkan bekal
untuk kehidupan akhirat kelak.
Bro en Sis, jangan sampe deh
kita adalah generasi yang
digambarkan oleh Rasulullah saw.
dalam sabdanya (yang artinya):
“ Akan datang di suatu masa,
dimana kalian dikerumuni dari
berbagai arah bagaikan
segerombolan orang-orang rakus
yang berkerumun berebut di
sekitar hidangan. ” Di antara para
sahabat ada yang bertanya
keheran-heranan, “Apakah
karena di waktu itu kita
berjumlah sedikit, ya Rasulullah?”
Rasul menjawab, “Bukan, bahkan
jumlah kalian pada waktu itu
banyak. Akan tetapi kalian
laksana buih yang terapung-
apung. Pada waktu itu rasa
takut di hati musuh-musuh kalian
telah dicabut oleh Allah dan
dalam jiwa kalian tertanam
penyakit al wahnu. ” “Apa itu al
wahnu?” tanya sahabat. Jawab
Rasulullah, “Cinta dunia dan
takut mati.” (HR Ahmad)
Cinta dunia? Benar. Saat ini
orang lebih menginginkan hal
yang duniawi ketimbang ukhrawi
(akhirat). Demi kebahagiaan di
dunia, banyak orang lupa syariat.
Maka, korupsi, misalnya, jadi
jalan pintas untuk meraih
kenikmatan dunia. Dunia yang
gemerlap seringkali menyilaukan.
Itu sebabnya jabatan, harta,
kenikmatan syahwat dan yang
mengitarinya akan diburu
meskipun harus melanggar
syariat. Kebanggaan-kebanggaan
yang diagungkan bukan lagi
kehidupan akhirat, bukan lagi
bangga sebagai muslim yang taat
syariat, bukan lagi kebanggaan
sebagai muslim yang mencintai
Islam sepenuh hati. Tapi,
kebanggaan itu sudah beralih
kepada kebanggaan semu: atas
nama harga diri bangsa, atas
nama nasionalisme, atas nama
sepakbola, atas nama hedonisme
dan selera rendah lainnya. Maaf
lho. Ini bukan nuduh, tapi
kenyataannya memang demikian.
Semoga kita semua, generasi
muslim yang cinta Islam dan taat
syariatnya tetap istiqomah dalam
menunjukkan identitas keislaman
kita. Apalagi, kita adalah warga
dari negeri yang mayoritas
penduduknya muslim. Betul?
Islam identitas kita
Allah sudah memuji kita, bahwa
kita adalah ummat yang terbaik
yang diturunkan kepada manusia.
Firman Allah Swt.:
“Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma`ruf,
dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. ” (QS
Ali Imron [3]: 110)
Nah, itu identitas seorang muslim,
yakni salah satunya melakukan
amar ma ’ruf (menyuruh kepada
kebaikan, yakni Islam). Dan tentu
saja wajib dilengkapi dengan nahi
munkar (mencegah kemunkaran).
Bro en Sis, berkaitan dengan
pentingnya identitas diri kita,
Rasulullah saw. juga bersabda:
Rasulullah saw. bersabda: “Kamu
telah mengikuti sunnah orang-
orang sebelum kamu sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi
sehasta. Sehingga jika mereka
masuk ke dalam lubang biawak
kamu tetap mengikuti mereka.
Kami bertanya: Wahai Rasulullah,
apakah yang engkau maksudkan
itu adalah orang-orang Yahudi
dan orang-orang Nasrani?
Baginda bersabda: Kalau bukan
mereka, siapa lagi ?” (HR
Bukhari Muslim)
Waduh ngeri juga ya? Lha iya,
bagi seorang muslim terlarang
baginya mengikuti budaya atau
gaya hidup kaum lain. Bisa
berbahaya. Bahkan seharusnya
bangga menjadi seorang muslim
yang memiliki identitas islami. So,
kalo bangganya dengan
nasionalisme, bangga karena
timnas sepakbola mainnya jago
dan bisa ngalahin negara lain,
atau kebanggaan semu lainnya,
maka saatnya kamu kudu
interospeksi diri. Ukur yuk
kekuatan kita dalam mencintai
dan terikat-kait dengan syariat
Islam. Seberapa kuat sih kita
taat syariat? Atau malah
sebaliknya, kita kuat dalam
mencontek gaya hidup kaum lain
selain Islam? Naudzubillahi min
dzalik!
Yuk, kita tunjukkan identitas
islami yang hakiki, yakni benar
dalam pikiran dan perasaannya.
Pikir dan rasa kita hanya dibalut
dengan ajaran Islam. Supaya bisa
memiliki kepribadian Islam yang
benar dan baik, giatlah mencari
ilmu Islam dan mengamalkannya.
Selain itu tentu saja kita hanya
bangga dengan Islam dan
syariatnya. Itu sebabnya, bukan
garuda di dadaku, tapi yang
pantas dan layak bagi seorang
muslim adalah: ISLAM di Dadaku!
Islam kebanggaanku! Sudah
saatnya Islam meraih
kemenangan! Siap kan? Yuk,
tunjukkan bareng-bareng
kepedulian kita kepada Islam!
[solihin:
osolihin@gaulislam.com]