gaulislam edisi 167/tahun ke-4
(28 Muharam 1432 H/ 3 Januari
2011)
Apa yang biasa kamu lakukan
dalam menyambut tahun baru?
Beragam jawaban dan ekspresi
pasti bakal saya dapet dari
kamu. Mulai dari yang semangat
nyiapin segala sesuatunya di
momen pergatian tahun ini, yang
sekedar ikut-ikutan karena
nggak enak sama temen karena
takut dikatain nggak solider,
yang biasa-biasa aja alias cuek
bebek nggak peduli dengan hal
nggak penting kayak gini, sampe
yang ekstrim benci dan nggak
suka sama acara rutinitas
tahunan yang udah seperti
tradisi ini. Dan emang faktanya,
mayoritas masyarakat Indonesia
menganggap hal ini seperti udah
menjadi budaya, pokoknya nggak
boleh sampe terlewatkan lah.
Betul apa betul?
Euforia yang saya maksud di
atas biasanya gampang kita
temukan di setiap pergantian
tahun baru miladiyah (masehi).
Meskipun sekarang udah mulai
membudaya juga tradisi sambut
tahun baru hijriyah (tarhib
Muharram) tiap tahunnya yang
kental dengan nuansa pawai
diiringi suara tabuhan ‘band
kepret’ alias rebana atau
marawis, tapi kemeriahan pesta
tahun baru masehi tetep nggak
tergantikan. Kebisinginnya juga
nggak ketulungan kalo udah mau
deket-deket 31 Desember jam
00:00. Itu yang namanya suara
terompet ampun deh udah bikin
berisik seantero jagat raya
(lebay deh …), khususnya buat
saya yang alergi sama kebisingan
semacam terompet atau
petasan. Untungnya saya nggak
pernah sakit gigi, yang konon
katanya kalo lagi senut-senut
nggak karuan gitu ngedenger
suara berisik jadi tambah
‘ nikmat’ nyerinya. Heuheu. Hmm,
mantep tuh! Amit-amit cabang
Bogor deh …
Malah parahnya, kalo dibandingin
lagi sama tahun baru kaum koko
dan cici; imlek, tahun baru
hijriyah yang katanya tahun
baru umat Islam nggak pernah
disambut antusias seantusias
seperti menyambut kehadiran
gong xi fat chai oleh kita yang
rata-rata muslim. Apa karena
seneng sama hiburan
barongsaynya atau karena
ngarep dapet angpau? Wah,
saya juga nggak tau tuh (sambil
garuk-garuk kepala …).
1 Muharram vs 1 Januari
Sobat muda, kalo kamu ngerasa
remaja muslim, ayo siapa yang
bisa nyebutin nama 12 bulan di
sistem penanggalan hijriyah
secara benar berurutan? Kalo
pas ada pertanyaan gini sontak
biasanya kamu yang lagi rame
sekali pun pasti langsung diem
seribu bahasa (ceile …), kayak
dering suara panggilan hp yang
kamu reject. Atau persis mirip
ekspresi seorang anak
(temennya Cila) di iklan susu di
tv yang pas ditanya mau jadi
apa dia jawab: “Wah, apa ya?”
Tuing-tuing…
Beda ketika ditanya tentang 12
bulan di tahun masehi yang
semuanya pasti bisa jawab dari
Januari sampe Desember. Hapal di
luar kepala. Mas dan Mbak, yang
jawaban pertanyaan atas juga
sama kan di luar kepala, bener-
bener di luar kepala, alias nggak
tahu? Tuh kan mesem-mesem …
Nah, itulah kita. Muslim yang kini
hampir nggak mengenal identitas
pribadinya. Dari mulai Muharram,
Safar, Rabiul Awal (Rabiul Ula),
Rabiul Akhir (Rabiuts Tsani),
Jumadil Awal (Jumadil Ula),
Jumadil Akhir (Jumadits Tsani),
Rajab, Sya ’ban, Ramadhan,
Syawal, Dzulqoidah, sampe
Dzulhijjah adalah 12 bulan yang
nyaris terdelete dari memori
otak kita. Padahal di tiap bulan
tersebut rata-rata terkandung
peristiwa bersejarah yang ada
kaitannya dengan peradaban
manusia.
Sama kasusnya dengan hari Ahad
yang merupakan hari pertama
dalam siklus mingguan kalender
yang sudah tergantikan dengan
Minggu. Idealnya, mengawali hari
aktivitasnya muslim adalah sejak
Ahad, tapi kita di hari pertama
malah liburan dengan alasan
Minggu. Konon menurut guru
saya, itulah alasan mengapa
pencarian nafkah kita jadi sering
tidak berkah karena memulai
ikhtiar di hari kedua. Kalo kata
orang tua dulu, ibarat rejekinya
udah dipatok ayam. Ya up to
you, Anda boleh percaya, boleh
tidak.
Seperti halnya sejarah awal mula
penetapan tanggal 1 Muharram,
ternyata kalo kita buka
referensi di kitab-kitab sirah
nabawiyah atau tarikh, kita
bakal nemuin begitu dahsyatnya
rentetan peristwa-peristiwa itu
terjadi. Pantes kalo sekarang
semangat hijrah 1 Muharram
selalu diperingati sebagai
momentum awal untuk membuat
komitmen hidup yang lebih baik
lagi oleh kita yang muslim. Nggak
kebayang kan gimana dulu Rasul
Saw. dan para sahabat
mempertahankan nyawa saat
kaum kuffar Quraisy mencoba
membabat habis peradaban Islam
yang tengah dibangun? Makanya
Allah memerintahkan kaum muslim
saat itu buat pindah untuk
sementara waktu
menyelamatkan diri ke tempat
yang lebih aman; dari Mekah ke
Madinah. Lebih mendebarkan plus
mengerikan ketimbang
mengungsinya masyarakat
sekitar Gunung Merapi ke posko-
posko darurat pas erupsi
kemaren, lho.
Singkatnya, peristiwa perjuangan
generasi awal Islam inilah yang
kemudian dicanangkan oleh
Amirul Mu ’minin ‘Umar Ibnul
Khaththab sebagai landasan
penanggalan kalender Islam yang
dimulai 1 Muharram, 1.432 tahun
yang lalu.
Sementara 1 Januari yang begitu
extravaganza dipestakan
ternyata hanyalah warisan
seremonial kaum pagan Yunani
dan Romawi yang memuja dewa-
dewi sembahan mereka. Banyak
yang nggak tahu kalo perayaan
1 Januari itu lekat dengan unsur
ritual dari keyakinan yang dianut
mereka. Bahkan sebenarnya kita
perlu curiga dengan slogan
ucapan yang terpampang jelas
setiap menjelang tahun baru,
ucapan selamatnya selalu
digabung antara Natal dan Tahun
Baru. Kok bisa? Ini dia
jawabannya: Pada tahun 1582 M
Paus Gregorius XIII juga
mengubah Perayaan Tahun Baru
Umat Kristen dari tanggal 25
Maret menjadi 1 Januari. Hingga
kini, Umat Kristen di seluruh
dunia merayakan Tahun Baru
mereka pada tanggal 1 Januari.
Nah lho, jadi sebenarnya kaum
muslimin yang merayakan tahun
baru 1 Januari ternyata sedang
ikut larut dalam perayaan kaum
Kristen, Waduh!
Ini gawat Bro en Sis, sebab
Rasulullah saw. udah bersabda:
Man tasyabbaHa bi qaumin
faHuwa minHum. (Siapa saja yang
menyerupai suatu kaum/ bangsa
maka dia termasuk salah
seorang dari mereka.) (HR Abu
Dawud, Ahmad, dan
Tirmidzi )
So, sukakah kita disamakan
dengan orang-orang yang ingkar
kepada Allah dan RasulNya?
Tsumma na ’udzubillah. Lantas,
kalo udah tau gimana
bermaknanya 1 Muharram,
kenapa kita masih keukeuh
mengagungkan 1 Januari dan
menyepelekan 1 Muharram ya?
Hmm.. sobat gaulislam perlu tahu
nih, jadi simak terus pembahasan
di buletin kesayangan kamu ini.
Ok?
Memulai Start hingga ke
Finish
Hijrah yang dulu dilakukan oleh
Assabiqunal Awwalun (orang-
orang yang pertama kali masuk
Islam) mempunyai makna yang
begitu dalam. Banyak sekali
pelajaran berharga yang bisa
kita dapatkan dari kisah
tersebut. Dari mulai semangat;
keteguhan iman dan Islam
mereka, sekaligus bakti plus
bukti cintanya pada Allah dan
RasulNya; pengorbanan atas
harta, tahta, dan keluarga yang
harus ikhlas ditinggalkan; nyawa
yang jadi taruhan, hingga
persaudaraan yang diikat erat
aqidah antara Muhajirin dan
Anshar; menjadi inspirasi serta
motivasi tak ternilai harganya
buat kita yang hidup setelah
mereka. Andai saat itu tak
pernah terjadi peristiwa hijrah,
tentu peradaban Islam tak akan
pernah berlangsung sekian abad
lamanya dan mustahil kita
rasakan kini.
Lalu pernahkah kita sejenak
berkontemplasi, muhasabah,
merefleksikan semangat hijrah
itu dalam realitas kehidupan kini?
Mereka orang-orang mulia dan
terhormat telah memulai Start
untuk peradaban manusia yang
lebih beradab. Saat itu, mereka
betul-betul yakin akan janji Allah
Swt. dalam al-Quran (yang
artinya): “Orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta
berjihad di jalan Allah dengan
harta, benda, dan diri mereka,
adalah lebih tinggi derajatnya di
sisi Allah. Dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan.
(QS at-Taubah [9]: 20)
Lalu di manakah posisi kita?
Sekedar menjadi penerus
tongkat estafet pun mungkin
tak pernah kita sadari dan
lakukan. Garis-garis besar haluan
peradaban itu telah mereka buat
untuk kita, dan kita tinggal
merampungkan hingga ke garis
Finish. Tapi kita terkadang berlari
di arena pacuan lain. Dan
tongkat estafet yang harusnya
kita perjuangkan untuk sampai
ke tangan pelari berikutnya
malah kita buang dan acuhkan.
Saudaraku, tanpa kita sadari
kita belum pernah memulai
secara sungguh-sungguh untuk
hijrah ke arah yang lebih baik
lagi. Dari dulu mungkin kita hanya
stagnan, berdiam diri di garis
Start yang harusnya sudah kita
tempuh, berlari dan terus berlari
menyempurnakan diri. Seperti
Forrest Gump yang tak henti-
hentinya berlari; “run Forrest,
run!”.
Kita mesti malu pada pendahulu
kita. Apa yang sudah kita
lakukan untuk hidup ini, untuk
orang tua dan keluarga, untuk
Islam dan kaum muslimin, untuk
Allah Swt.dan RasulNya? Mengapa
kita belum berhijrah dengan
sebenar-benarnya hijrah?
Biasanya Rasululullah saw. dan
para sahabat mengevaluasi jejak
perjalanan setahun ke belakang.
Bahkan bukan di akhir tahun,
tapi di setiap malam sebelum
tidur. Setiap kesalahan
diistighfari, dimohonkan ampunan
padaNya; dan setiap kebaikan
dipertahankan serta
ditingkatkan di hari-hari
berikutnya. Terngiang selalu di
telinga para sahabat wejangan
Baginda saw. mengenai tiga
golongan manusia dalam
kaitannya dengan perubahan:
beruntunglah ia yang hari ini
lebih baik dari kemarin, merugilah
ia yang hari ini sama saja seperti
kemarin, dan celakalah ia yang
hari ini lebih buruk dari kemarin.
Nastaghfirullah al- ‘azhim.
Sobat muda muslim pembaca
setia gaulislam, berapa banyak di
antara kita yang telah menyusun
rencana dan strategi dalam
mengarungi hidup kita setahun
ke depan? Yang dibutuhkan
bukan hanya sekedar terucap di
bibir “ingin hidup lebih baik lagi”,
tapi konsep strategi, komitmen,
serta prinsip mengenai visi dan
misi rencana hidup setahun ke
depan juga sangat dibutuhkan
sebagai pedoman agar tercapai
sesuai harapan. Seperti seorang
Jamil az-Zaini yang menuangkan
semua harapan dan cita-cita
hidupnya dalam buku Tuhan,
Inilah Proposal Hidupku, yang ia
bawa turut serta saat thawaf di
Ka ’bah.
Maka mari susun program kerja
kita di sisa waktu dan usia yang
Allah berikan. Minimal untuk 1
tahun ke depan. Kemudian kita
perjuangkan, for a better life,
demi tercapainya kehidupan yang
lebih baik lagi dalam naungan
rahmat dan ridho Allah Swt. agar
kita bisa meneladani dan
sekaligus menerapkan benar-
benar semangat hijrah para
pendahulu dalam kehidupan kita.
Tak perlu takut menghadapi
terjangan badai apa pun. Ingat
janjiNya (yang artinya): “…Maka
orang-orang yang berhijrah,
yang diusir dari kampung
halamannya, yang disakiti pada
jalan-Ku, yang berperang dan
yang dibunuh, pastilah akan
Kuhapuskan kesalahan-kesalahan
mereka dan pastilah Aku
masukkan mereka ke dalam
surga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya, sebagai
pahala di sisi Allah. Dan Allah pada
sisi-Nya pahala yang baik. ” (QS
Ali ‘Imran [3]: 195)
Dalam firmanNya yang lain (yang
artinya): “Siapa saja yang
berhijrah di jalan Allah, niscaya
mereka mendapati di muka bumi
ini tempat hijrah yang luas dan
rizki yang banyak. Siapa saja
yang keluar dari rumahnya
dengan maksud berhijrah kepada
Allah dan RasulNya, kemudian
kematian menimpanya (sebelum
sampai ke tempat yang dituju),
maka sungguh telah tetap
pahalanya di sisi Allah. Dan adalah
Allah MahaPengampun lagi
MahaPenyayang.” (QS an-Nisaa
[4]: 100)
Sobat muda, semoga Start yang
akan kita awali ini berbuah manis
di garis Finish nanti. Menjadi
orang-orang yang menikmati
happy ending alias husnul
khotimah. Menutup jejak sejarah
kehidupan kita dengan prestasi
yang dipahat dengan tinta emas.
Karena “Sesungguhnya hari akhir
itu lebih baik bagimu daripada
yang sekarang (permulaan). ” (QS
adh-Dhuha [93]: 4)
Last but not least, jadikan
semangat hijrah sebagai amunisi
dalam meniti jalan ketaatan pada
Allah dan RasulNya semata.
Salam Mumtaz! [anto
apriyanto, the spirit of soul |
anto.mumtaz@gmail.com]