gaulislam edisi 138/tahun ke-3 (2 Rajab 1431 H/ 14 Juni 2010) Penggila sepakbola sudah mulai dimanjakan dengan hajatan akbar di Afrika Selatan. Ya, World Cup 2010! Pesta pembukaannya sudah dilakukan di Johannesburg pada 11 Juni 2010 lalu. Gelaran ini akan berlangsung sebulan penuh. Mulai 11 Juni hingga 11 Juli 2010. Afrika Selatan menjadi tuan rumah ajang pesta bola empat tahunan kelas dunia tahun ini. Sepuluh stadion megah di sembilan kota siap menampung ribuan penonton dan menjadi saksi sejarah helatan akbar sepakbola sejagat. Soccer City Stadium, salah satu stadion yang berkapasitas 94.700 tempat duduk akan menjadi stadion yang menggelar laga perdana dan laga final. Bro en Sis, membangun sepuluh stadion untuk menggelar ajang sekelas piala dunia tentu nggak mudah. Butuh waktu, perlu dana banyak dan mempertaruhkan kepercayaan dunia. Maka, pemerintah Afrika Selatan pasti sudah menghitung dengan cermat sebelum nekat menjadi tuan rumah. Faktor duit yang bakalan dikeruk dari ajang itu sekaligus ketenaran nama negara bisa menjadi pemicu untuk menggelar event tersebut. FIFA sendiri, sebagai badan resmi yang mengatur turnamen ini, sudah menghitung laba. Sekretaris Jenderal FIFA, Jerome Valcke, menyebutkan bahwa keuntungan FIFA yang bakal didapatkan di Piala Dunia nanti mencapai 1,65 miliar pounsterling atau sekitar Rp 22 triliun. Keuntungan tersebut berasal dari pendapatan dari sponsor, hak tayang, dan sumber lainnya (dapunta.com, 4 Juni 2010) Itu baru FIFA lho yang menangguk untung. Di era industri sepakbola ini, bagi mereka yang ngurusin event sebesar piala dunia pasti kecipratan ‘rejekinya’. Kalo FIFA dapetin untung segede gitu, maka tuan rumah pun pasti dapat untung. Kerjasama lah. Ini kan bisnis, bos. Sebagai tuan rumah, pemerintah Afsel memiliki pos-pos yang sudah pasti jadi tambang duit adalah dari tiket penonton, sponsor, merchandise resmi, jatah prosentase dari hak siar. Pemilik hotel dan pengusaha café atau sejenisnya juga ketiban rejeki nomplok. Gimana nggak, ratusan ribu atau bahkan jutaan orang yang bakalan tumplek blek datang ke Afsel pasti butuh tempat tinggal, butuh makan, butuh minum dan keperluan hajat hidup lainnya. Sudah pasti putaran duit dari industri sepakbola itu bakalan berpusat di sana. Wrrr.. siapa yang nggak ngiler kalo urusan duit? Sepakbola dan industri olahraga Tak seperti olahraga lainnya, sepakbola adalah olahraga yang bisa disulap jadi industri. Maklum, olahraga ini memiliki penggemar fanatik dan jumlahnya miliaran di seluruh dunia. Itu artinya, jika ngomongin soal bisnis, maka tentu saja jumlah penggila sepakbola adalah potensi bisnis yang sangat besar. Tak heran jika event akbar seperti piala dunia adalah saatnya panen duit bagi semua pihak yang terlibat dalam ajang tersebut. Tukang cetak termasuk yang kecipratan duit segar lho. Bayangin aja, tiket kan perlu dicetak tuh. Nah, so pasti orderan kenceng banget kalo kudu cetak tiket resmi piala dunia. Meski tiket yang dicetak hanya sekitar 3,5 juta lembar, tapi kalo per lembarnya dapat laba bersih sepuluh ribu rupiah saja, yang dapet tender tersebut bisa kebagian 35 miliar rupiah. Sampe bulan Maret 2010 saja, tiket resmi yang sudah terjual adalah 2,1 juta dari total 3,5 juta tiket yang dicetak. Mau tahu berapa harga tiket termurah dan termahal? Pada laga pertama antara Afsel lawan Meksiko, tiketnya Rp 1,8 juta. Untuk pertandingan lainnya, termurah adalah Rp 740 ribu. Dan, untuk nonton laga final piala dunia pada 11 Juli 2010, tiketnya Rp 8,3 juta. Terus, kalikan dengan ribuan penonton yang bakal memenuhi stadion. Kamu udah bisa ngitung sendiri deh. Benar-benar bisnis yang menggiurkan! BTW, berarti orang yang bisa nonton langsung ke Afsel (selain yang dapat jatah nonton gratis karena menang undian) pastinya berkocek tebal dong ya. Indonesia sendiri dikasih jatah 1500 tiket. Selain gelaran piala dunia yang pastinya bertabur duit, klub-klub sepakbola di liga-liga Eropa doyan menghambur-hamburkan duitnya untuk menggaji pemain topnya. Bagi kamu yang ngikutin info sepakbola dunia, pasti pernah tahu nilai transfer termahal yang saat ini dipegang oleh Cristiano Ronaldo. Yup, nilai transfer yang nyaris mimpi untuk bisa mempercayainya. Kepindahannya dari Manchester United ke tim berjuluk Los Galacticos, Real Madrid dihargai Rp 1,3 triliun. Ini lebih mahal dari biaya operasi Dono di film yang diproduksi tahun 80-an: “Manusia 6 juta Dolar” (hehehe.. nyambung nggak sih?) Selain nilai transfer termahal, ternyata industri sepakbola royal menggelontorkan duitnya untuk menggaji pemain top mereka. Saat ini, rekor gaji tertinggi dipegang Lionel Messi. Pemuda asal Argentina yang menunjukkan permainan atraktifnya ini dibandrol 33 juta euro atau sekitar Rp 406 miliar per tahun oleh manajemen Barcelona (mengungguli David Beckham, 30,4 juta euro dan Cristiano Ronaldo, yang digaji 30 juta euro). Artinya, Messi digaji Rp 33,8 miliar per bulan atau sama dengan Rp 8,5 miliar per pekan. Waduh, itu duit semua. Bukan daun! Bagaimana para pemain di liga Indonesia? Hmm.. memang jauh banget sih nilainya. Rekor gaji tertinggi pemain ISL (Indonesia Super League) dipegang Bambang Pamungkas (Persija), Rp 1,37 miliar per tahun. Disusul Abanda Herman (Persija) Rp 1,315 miliar dan di urutan ketiga C. Gonzales (Persib) Rp 1,3 miliar. Wedeh, gaji ilmuwan dan para guru kalah tuh kayaknya (hehehe). Kapitalisme dalam sepakbola Sobat muda muslim, yang paling mencolok dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah modal. Duit dan selalu duit yang jadi ukuran. Maka tak heran jika dalam industri sepakbola pun hukum itu berlaku. Menang dan selalu menang yang ditargetkan dalam setiap pertandingan. Kalo kalah sekali aja berarti bencana bagi pelatih dan pemain. Pasti kena semprot manajemen klub. Sebab, jika selalu menang, pendapatan juga meningkat. Jika juara, bukan saja pretasi yang didapat, tapi juga duit. Dan, itu jumlahnya pasti berlipat. Bagi para pemain di liga-liga Eropa, mereka harus selalu siap bertanding. Kalo klub besar dan berprestasi maka pertandingan bukan hanya sekali sepekan. Bisa jadi maksimal 3 kali dalam sepekan di semua kompetisi yang diikuti. Waktu habis hanya dengan sepakbola. Mungkin itu pula yang akhirnya para pemain topnya dihargai miliaran rupiah per pekan. Meski demikian, gaji tinggi tak membuat mereka menikmati sepenuhnya profesi tersebut. Setidaknya Nemanja Vidic, bek Manchester United asal Serbia ini pernah bilang, “Bermain sepakbola di Inggris sangat menguras waktu, kita harus selalu bermain, dan harus selalu dalam kondisi prima. Kita tidak bisa menikmati setiap waktu kita, karena semuanya habis oleh sepakbola.” Nah, karena ukurannya adalah uang bin duit, maka industri sepakbola ini dimanfaatkan juga oleh para penjudi. Lho kok bisa? Taruhan, Bro! Ya, pasar taruhan di setiap pertandingan liga-liga Eropa termasuk di Indonesia selalu ramai. Bahkan ada judi online segala. Para bandar judi ini ada juga yang berani masang logo usahanya di kaos klub. Itu pula yang sempat membuat Frederick Kanoute, pemain Sevilla yang kebetulan muslim, menolak mengenakan kaos yang disponsori perusahaan judi online. Bayangin aja sekarang saat digelar hajatan sepakbola sedunia, pasti pasar taruhan bakalan lebih ramai dari biasanya. Waktu Piala Dunia 2006 di Jerman saja, menurut Titan Sports Weekly, Cina menghabiskan sampai 500 milyar yuan (73 miliar dolar AS) untuk judi “online” selama Piala Dunia tahun 2006. Jumlah tersebut sebanding dengan dua persen dari PDB Cina. Waduh! Inilah kapitalisme, Bro. Segalanya memang hanya diukur dengan duit dan asas manfaat yang ujungnya juga duit. Meski di beberapa negara judi diangap ilegal, tapi jika duit yang bicara, siapa yang nggak tergiur? Seperti di Korea Selatan misalnya, ada institusi khusus yang memegang ijin dari pemerintah untuk menyelenggarakan taruhan di segala turnamen olahraga, termasuk piala dunia, dengan syarat harus memberikan 25 % pendapatannya kepada pemerintah. Ya, duit lagi, duit lagi. Namun bersamaan dengan itu, kemiskinan tetap menjadi problem tersendiri di tengah gemerlapnya industri sepakbola. Pada gelaran Piala Dunia saja, meski Afsel terus berbenah dengan membangun stadion-stadion megah tapi kemiskinan tetap ada di Capetown. Menurut Harian Belanda, Trouw, betapa kemewahan akan sangat kontras dengan kemiskinan Capetown. Di kota ini 26.2% penduduk berpenghasilan tidak lebih dari 1.25 dolar–atau sekitar Rp 12.000– per hari. “Dengan stadion-stadion baru, hidup kami tidak akan jadi lebih baik. Afrika Selatan tidak akan jadi lebih maju,” kata Simon Nomolkma, penduduk Capetown. Sayang, lanjut Trouw, pendapatnya tidak akan terdengar sampai ke gelanggang-gelanggang besar yang baru dibangun. Tidak juga sampai ke pembuat kebijakan yang seolah tak melihat kenyataan di balik pagar stadion. Gedenya gaji para pemain sepakbola di Eropa pun sering mendapat kritikan. Ketimpangan itu sangat nyata terlihat. Di Inggris saja, para pekerja rumah sakit (perawat) pernah protes karena gaji mereka setahun masih kalah jauh dengan gaji para pemain sepakbola liga Inggris dalam sepekan. Brasil, negara pemegang rekor dengan 5 kali juara dunia, negerinya tetap dibelit kemiskinan. Karena yang makmur hanyalah para pemain bintangnya saja yang merumput di liga-liga Eropa. Tak heran pula, jika para orang tua di negara-negara Afrika lebih memilih anaknya jadi pemain sepakbola di liga-liga Eropa demi meraih mimpi memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Oke deh, sampe sini dulu ya, insya Allah pekan depan kita lengkapi dengan pandangan Islam terhadap permasalahan ini. Stay tune terus di buletin gaulislam. So, jagain terus waktu terbit buletin ini. Kalo nggak dapet edisi cetak, ada kok edisi internetnya. Jangan sampe nggak baca ya! [solihin: osolihin@gaulislam.com]

XtGem Forum catalog