[Al Islam 537] TAHUN
2010 segera berakhir. Fajar
tahun baru 2011 segera
hadir. Sepanjang tahun 2010
banyak peristiwa ekonomi,
politik, sosial, budaya dan
sebagainya yang telah terjadi.
Terkait sejumlah peristiwa
tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia
memberikan catatan sebagai
berikut:
1. Demokrasi: Sistem Cacat,
Menindas Rakyat.
Demokrasi di Indonesia-sekalipun
mendapatkan pujian dalam Bali
Democracy Forum (10/12/2010)-
tidaklah memiliki wujud nyata di
tengah masyarakat. Sepanjang
tahun 2010, banyak tragedi
yang menunjukkan dengan jelas
kecacatan sistem ini. Yang paling
menonjol, Indonesia dengan
demokrasinya telah
menempatkan diri sebagai
subordinat kepentingan negara
kapitalis Amerika Serikat dan
sekutunya. Kunjungan Obama ke
negeri ini menjadi simbol dari pola
hubungan tersebut. Demikian
juga perang melawan teror yang
diadopsi Pemerintah Indonesia
yang merupakan turunan dari
GWOT (global war on terrorism)-
nya AS.
Wajah buruk demokrasi terkuak.
Hanya karena diberi label
‘Perang Melawan Terorisme’,
sistem demokrasi kemudian
membiarkan adanya penculikan,
penahanan paksa dan rahasia
serta penyiksaan. Korbannya
semuanya Muslim. Semua itu legal
hanya karena alasan demi
kepentingan keamanan nasional.
Sistem ini telah membuang hak
asasi manusia dan prinsip-prinsip
keadilan hukum. Sistem
demokrasi telah menunjukkan
jatidirinya yang asli: menindas
rakyat.
Sistem ini pun meniscayakan
perselibatan pihak penguasa
dengan pengusaha. Pengusaha
berkepentingan untuk
mendapatkan dukungan
kekuasaan demi usahanya.
Sebaliknya, penguasa
memerlukan dukungan (modal)
pengusaha untuk meraih dan
mempertahankan kekuasaannya.
Walhasil, demokrasi hanyalah
‘kuda tunggangan’ bagi kedua
kelompok ini, sementara rakyat
hanya dijadikan obyek eksploitasi
kepentingan mereka. Wajar jika
banyak keputusan, kebijakan, UU
atau peraturan yang dihasilkan
melalui proses demokrasi nyata-
nyata lebih berpihak kepada
mereka ketimbang kepada
rakyat. Inilah demokrasi-sebuah
sistem yang cacat dan
mengabaikan rakyat, yang tak
layak diadopsi oleh umat Islam.
2. DPR: Fasilitas ‘Wah’, Kinerja
Rendah.
Gaji setiap anggota DPR saat ini
sangatlah besar. Belum lagi
tunjangannya yang bermacam-
macam dan rata-rata juga gede.
Totalnya puluhan juta rupiah
perbulan. Meski begitu, berbagai
upaya tetap dilakukan untuk
terus menumpuk kekayaan dan
fasilitas mewah para anggota
DPR. Selain usulan dana aspirasi,
DPR juga berencana membangun
gedung baru, yang akan
menghabiskan biaya Rp 1,8
triliun. Gedung itu juga akan
dilengkapi dengan pusat
kebugaran dan spa.
Para anggota DPR pun getol
jalan-jalan keluar negeri dengan
judul ‘studi banding’. Biayanya
sepanjang tahun 2010
dianggarkan Rp 162,9 miliar. Jika
dibagi rata kepada 560 anggota
DPR, setiap orang mendapat Rp
290,97 juta setahun atau Rp
24,25 juta setiap bulan.
Anggaran sebesar ini hanya
untuk kunjungan kerja ke luar
negeri. Anggaran kunjungan di
dalam negeri malah lebih besar
lagi. Audit Badan Pemeriksa
Keuangan Juni 2009 menyatakan
disclaimer (tidak memberikan
pendapat) terhadap
pertanggungjawaban biaya
perjalanan dinas pimpinan dan
anggota DPR untuk tahun
anggaran 2007 dan 2008 yang
seluruhnya berjumlah Rp 341,34
miliar.
Dengan semua fasilitas yang
serba ‘wah’ itu, bagaimana
prestasinya? Ternyata, kinerja
DPR dalam kurun terakhir ini
sangat buruk. Mahkamah
Konstitusi menilai, produk legislasi
DPR selama ini banyak yang tak
beres karena menyimpang dari
arah dan strategi Program
Legislasi Nasional. Dalam lima
tahun terakhir, MK telah
membatalkan 58 UU yang dibuat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Pemerintah dari 108 UU yang
diujimaterikan. Bahkan ada UU
yang diuji lebih dari sekali. Selesai
pasal ini, ganti pasal lainnya yang
diuji. Misalnya, UU Pemerintah
Daerah diuji lebih dari 5 kali,
Undang-Undang KPK diuji 9 kali,
Undang-Undang Pemilu diuji 8 kali.
Banyak produk UU yang ujung-
ujungnya juga hanya memenuhi
kepentingan individu, kelompok
tertentu yang ada dalam oligarki
kekuasaan serta pihak asing.
Untuk rakyat cukup janji-janji
kosong tentang perubahan.
Faktanya, meski banyak produk
UU dihasilkan, rakyat tak pernah
beranjak dari penderitaannya.
3. State Corruption.
Korupsi di negeri ini makin
sistemik. Artinya, korupsi bukan
lagi dilakukan oleh satu-dua
orang, tetapi oleh banyak orang
secara bersama-sama.
Terungkapnya kasus Gayus
menunjukkan hal itu. Yang jauh
lebih berbahaya adalah saat
negara justru menjadi pelaku
korupsi melalui utak-atik
kebijakan dan
peraturan. Inilah yang
disebut state corruption (korupsi
negara). Skandal Bank Century
dan IPO Krakatau Steel adalah
contoh nyata. Kasus itu diduga
telah merugikan negara triliunan
rupiah. Segala usaha
pemberantasan korupsi menjadi
tak banyak artinya karena
pelakunya adalah negara yang
dilegalisasi oleh dirinya sendiri.
4. Kebijakan Ekonomi Liberal.
Saat ini makin banyak kebijakan
ekonomi liberal yang dikeluarkan
pemerintah. Di antaranya adalah
kenaikan tarif listrik (TDL),
privatisasi sejumlah BUMN dan
rencana pembatasan subsidi BBM.
Kenaikan TDL sebetulnya bisa
dihindari andai PLN mendapat
pasokan gas. Anehnya, produksi
gas yang ada, seperti Gas Donggi
Senoro, 70%-nya malah akan
dijual ke luar negeri.
Demikian pula privatisasi sejumlah
BUMN. Bila alasannya untuk
menambah modal, mengapa tak
diambil dari APBN atau dari
penyisihan keuntungan? Bila
untuk bank kecil seperti Bank
Century yang milik swasta,
Pemerintah dengan sigap menggelontorkan
uang lebih dari Rp 6 triliun,
mengapa untuk perusahaan milik
negara langkah seperti itu tak
dilakukan?
Adapun rencana pembatasan
BBM tak lebih merupakan usaha
Pemerintah untuk menuntaskan
liberalisasi sektor Migas seperti
yang digariskan IMF. Kebijakan
itu tentu akan membuat
perusahaan asing leluasa bermain
di sektor hulu dan hilir (ritel/
eceran). SPBU-SPBU asing akan
mengeruk keuntungan besar
dengan kebijakan ini. Ini tentu
sebuah ironi besar. Bagaimana
mungkin rakyat membeli barang
milik mereka dari pihak asing
dengan harga yang ditentukan
oleh mereka, justru di dalam
rumah mereka sendiri?
Kebijakan ekonomi yang makin
liberal itu tentu makin
memberatkan kehidupan ekonomi
rakyat. Pengangguran pun makin
meningkat. Akibatnya, sebagian
dari mereka pun
mencari kerja ke luar negeri.
Namun, bukan uang yang
didapat, tetapi penderitaan dan
penyiksaan seperti yang
menimpa Sumiati, bahkan
pembunuhan seperti yang dialami
Kikim Komalasari dan sejumlah
TKW lain.
5. Intervensi Asing.
DPR yang diidealkan menjadi wakil
rakyat, realitasnya justru
menjadi alat pengesah campur
tangan asing. UU SDA yang
dihasilkan DPR, misalnya, tak lain
merupakan pesanan dari Bank
Dunia. UU lain seperti UU Migas,
UU Penanaman Modal, UU
Minerba, UU Kelistrikan dll juga
diduga sarat kepentingan asing.
Di sisi lain, intervensi asing,
khususnya Amerika Serikat,
bakal kian kokoh setelah naskah
Kemitraan Komprehensif
ditandatangani
Pemerintah. Kunjungan Obama
bulan lalu makin memperkuat
cengkeraman kuku negara
imperialis itu di negeri ini.
Terungkapnya sejumlah dokumen
diplomatik penting terkait
Indonesia melalui situs Wikileaks
hanyalah menegaskan tentang
adanya campur tangan
AS terhadap negeri ini.
6. Isu Terorisme dan Kebrutalan
Densus 88.
Isu terorisme di tahun 2010 tak
juga kunjung padam. Sejumlah
kasus yang diklaim sebagai
tindak terorisme seperti
perampokan Bank CIMB - Niaga di
Medan terjadi. Namun, dari
investigasi yang dilakukan,
terkuak sejumlah kejanggalan
sekaligus kezaliman yang
dilakukan Densus 88. Hal ini
dipertegas oleh kesimpulan yang
dilakukan Komnas HAM. Namun,
Densus 88 tetap bergeming.
Operasi jalan terus, nyaris tanpa
kendali dan kontrol. Korban
mungkin masih akan kembali
berjatuhan di tahun-tahun
mendatang, yang semuanya
adalah Muslim.
7. Konflik Umat dan Aliran Sesat.
Sejumlah konflik umat terjadi di
tahun 2010. Sesungguhnya
konflik itu timbul bukan dipicu
oleh umat Islam seperti yang
banyak dituduhkan. Konflik umat
dengan kelompok Ahmadiyah,
misalnya, terjadi karena
kelompok ini memang keras
kepala. Mereka tak menaati SKB
Tiga Menteri. Demikian juga
konflik umat Islam dengan
kelompok Kristen, terjadi karena
mereka tak menaati ketentuan
menyangkut pendirian tempat
ibadah. Persoalan makin rumit
saat mereka-dengan dukungan
media massa dan jaringan LSM
internasional-memaksakan
kehendak. Terjadilah apa yang
disebut ‘tirani minoritas’ yang
merugikan kaum Muslim,
penduduk mayoritas negeri ini.
8. Musibah dan Bencana.
Sepanjang tahun 2010
negeri ini diwarnai oleh banyak
bencana: tsunami di Mentawai,
longsor di Wasior Papua dan
letusan Gunung Merapi di Jawa
Tengah/DIY. Bencana tersebut
menyisakan sebuah ironi. Bila
diyakini bahwa segala bencana
itu adalah karena qudrah
(kekuatan) dan iradah
(kehendak) Allah SWT, lalu
mengapa pada saat yang sama
kita tetap tak mau tunduk dan
taat kepada Allah SWT dalam
kehidupan kita? Mengapa bangsa
ini tak segera menerapkan
syariah-Nya secara total dalam
seluruh aspek kehidupan sebagai
bukti ketaatannya kepada Allah
SWT? Haruskah bangsa ini
menunggu teguran lain berupa
bencana yang lebih besar lagi?
Sikap Hizbut Tahrir
Indonesia
Berkenaan dengan kenyataan di
atas, Hizbut Tahrir Indonesia
menyatakan:
1. Ada dua faktor utama di
balik berbagai persoalan yang
timbul, khususnya di sepanjang
tahun 2010 ini: sistem yang
bobrok (yakni sistem Kapitalisme-
sekular, termasuk demokrasi di
dalamnya) dan pemimpin
(penguasa/wakil rakyat) yang
tak amanah. Karena itu, bila kita
ingin sungguh-sungguh lepas dari
berbagai persoalan di atas, kita
harus memilih sistem yang baik
dan pemimpin yang amanah.
Sistem yang baik hanya datang
dari Zat Yang Mahabaik, Allah
SWT. Itulah syariah Islam yang
diterapkan dalam sistem
Khilafah. Adapun pemimpin yang
amanah adalah yang mau
sungguh-sungguh menjalankan
sistem yang baik itu itu.
2. Di sinilah sesungguhnya
pentingnya seruan ”Selamatkan
Indonesia dengan Syariah-Menuju
Indonesia Lebih Baik”. Sebab,
hanya dengan sistem yang
berdasarkan syariah dalam
institusi Khilafah dan dipimpin
oleh pemimpin yang amanah
(khalifah) Indonesia benar-benar
bisa menjadi lebih baik. Dengan
itu kerahmatan Islam bagi
seluruh alam bisa diwujudkan
secara nyata.
3. Karena itu, hendaknya
seluruh umat Islam, khususnya
mereka yang memiliki kekuatan
dan pengaruh, berusaha dengan
sungguh-sungguh
memperjuangkan penerapan
syariah dan Khilafah di negeri ini.
Hanya dengan syariah dan
Khilafah saja kita bisa
menyongsong tahun mendatang
dengan lebih baik.
Sebagai catatan akhir, marilah
kita merenungkan ayat ini:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّـهِ حُكْمًا
لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang
mereka kehendaki. Siapakah
yang lebih baik hukumnya
daripada Allah bagi orang-orang
yang yakin? (QS al-Maidah [5]:
50).
Komentar al-islam:
AS tembakan 110 rudal ke
Pakistan selama tahun 2010;
banyak korban dari warga sipil
(Republika, 28/12/2010).
Belumkah cukup bukti bahwa AS-
lah teroris sejati?!
[Al Islam 537] TAHUN
2010 segera berakhir. Fajar
tahun baru 2011 segera
hadir. Sepanjang tahun 2010
banyak peristiwa ekonomi,
politik, sosial, budaya dan
sebagainya yang telah terjadi.
Terkait sejumlah peristiwa
tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia
memberikan catatan sebagai
berikut:
1. Demokrasi: Sistem Cacat,
Menindas Rakyat.
Demokrasi di Indonesia-sekalipun
mendapatkan pujian dalam Bali
Democracy Forum (10/12/2010)-
tidaklah memiliki wujud nyata di
tengah masyarakat. Sepanjang
tahun 2010, banyak tragedi
yang menunjukkan dengan jelas
kecacatan sistem ini. Yang paling
menonjol, Indonesia dengan
demokrasinya telah
menempatkan diri sebagai
subordinat kepentingan negara
kapitalis Amerika Serikat dan
sekutunya. Kunjungan Obama ke
negeri ini menjadi simbol dari pola
hubungan tersebut. Demikian
juga perang melawan teror yang
diadopsi Pemerintah Indonesia
yang merupakan turunan dari
GWOT (global war on terrorism)-
nya AS.
Wajah buruk demokrasi terkuak.
Hanya karena diberi label
‘Perang Melawan Terorisme’,
sistem demokrasi kemudian
membiarkan adanya penculikan,
penahanan paksa dan rahasia
serta penyiksaan. Korbannya
semuanya Muslim. Semua itu legal
hanya karena alasan demi
kepentingan keamanan nasional.
Sistem ini telah membuang hak
asasi manusia dan prinsip-prinsip
keadilan hukum. Sistem
demokrasi telah menunjukkan
jatidirinya yang asli: menindas
rakyat.
Sistem ini pun meniscayakan
perselibatan pihak penguasa
dengan pengusaha. Pengusaha
berkepentingan untuk
mendapatkan dukungan
kekuasaan demi usahanya.
Sebaliknya, penguasa
memerlukan dukungan (modal)
pengusaha untuk meraih dan
mempertahankan kekuasaannya.
Walhasil, demokrasi hanyalah
‘kuda tunggangan’ bagi kedua
kelompok ini, sementara rakyat
hanya dijadikan obyek eksploitasi
kepentingan mereka. Wajar jika
banyak keputusan, kebijakan, UU
atau peraturan yang dihasilkan
melalui proses demokrasi nyata-
nyata lebih berpihak kepada
mereka ketimbang kepada
rakyat. Inilah demokrasi-sebuah
sistem yang cacat dan
mengabaikan rakyat, yang tak
layak diadopsi oleh umat Islam.
2. DPR: Fasilitas ‘Wah’, Kinerja
Rendah.
Gaji setiap anggota DPR saat ini
sangatlah besar. Belum lagi
tunjangannya yang bermacam-
macam dan rata-rata juga gede.
Totalnya puluhan juta rupiah
perbulan. Meski begitu, berbagai
upaya tetap dilakukan untuk
terus menumpuk kekayaan dan
fasilitas mewah para anggota
DPR. Selain usulan dana aspirasi,
DPR juga berencana membangun
gedung baru, yang akan
menghabiskan biaya Rp 1,8
triliun. Gedung itu juga akan
dilengkapi dengan pusat
kebugaran dan spa.
Para anggota DPR pun getol
jalan-jalan keluar negeri dengan
judul ‘studi banding’. Biayanya
sepanjang tahun 2010
dianggarkan Rp 162,9 miliar. Jika
dibagi rata kepada 560 anggota
DPR, setiap orang mendapat Rp
290,97 juta setahun atau Rp
24,25 juta setiap bulan.
Anggaran sebesar ini hanya
untuk kunjungan kerja ke luar
negeri. Anggaran kunjungan di
dalam negeri malah lebih besar
lagi. Audit Badan Pemeriksa
Keuangan Juni 2009 menyatakan
disclaimer (tidak memberikan
pendapat) terhadap
pertanggungjawaban biaya
perjalanan dinas pimpinan dan
anggota DPR untuk tahun
anggaran 2007 dan 2008 yang
seluruhnya berjumlah Rp 341,34
miliar.
Dengan semua fasilitas yang
serba ‘wah’ itu, bagaimana
prestasinya? Ternyata, kinerja
DPR dalam kurun terakhir ini
sangat buruk. Mahkamah
Konstitusi menilai, produk legislasi
DPR selama ini banyak yang tak
beres karena menyimpang dari
arah dan strategi Program
Legislasi Nasional. Dalam lima
tahun terakhir, MK telah
membatalkan 58 UU yang dibuat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Pemerintah dari 108 UU yang
diujimaterikan. Bahkan ada UU
yang diuji lebih dari sekali. Selesai
pasal ini, ganti pasal lainnya yang
diuji. Misalnya, UU Pemerintah
Daerah diuji lebih dari 5 kali,
Undang-Undang KPK diuji 9 kali,
Undang-Undang Pemilu diuji 8 kali.
Banyak produk UU yang ujung-
ujungnya juga hanya memenuhi
kepentingan individu, kelompok
tertentu yang ada dalam oligarki
kekuasaan serta pihak asing.
Untuk rakyat cukup janji-janji
kosong tentang perubahan.
Faktanya, meski banyak produk
UU dihasilkan, rakyat tak pernah
beranjak dari penderitaannya.
3. State Corruption.
Korupsi di negeri ini makin
sistemik. Artinya, korupsi bukan
lagi dilakukan oleh satu-dua
orang, tetapi oleh banyak orang
secara bersama-sama.
Terungkapnya kasus Gayus
menunjukkan hal itu. Yang jauh
lebih berbahaya adalah saat
negara justru menjadi pelaku
korupsi melalui utak-atik
kebijakan dan
peraturan. Inilah yang
disebut state corruption (korupsi
negara). Skandal Bank Century
dan IPO Krakatau Steel adalah
contoh nyata. Kasus itu diduga
telah merugikan negara triliunan
rupiah. Segala usaha
pemberantasan korupsi menjadi
tak banyak artinya karena
pelakunya adalah negara yang
dilegalisasi oleh dirinya sendiri.
4. Kebijakan Ekonomi Liberal.
Saat ini makin banyak kebijakan
ekonomi liberal yang dikeluarkan
pemerintah. Di antaranya adalah
kenaikan tarif listrik (TDL),
privatisasi sejumlah BUMN dan
rencana pembatasan subsidi BBM.
Kenaikan TDL sebetulnya bisa
dihindari andai PLN mendapat
pasokan gas. Anehnya, produksi
gas yang ada, seperti Gas Donggi
Senoro, 70%-nya malah akan
dijual ke luar negeri.
Demikian pula privatisasi sejumlah
BUMN. Bila alasannya untuk
menambah modal, mengapa tak
diambil dari APBN atau dari
penyisihan keuntungan? Bila
untuk bank kecil seperti Bank
Century yang milik swasta,
Pemerintah dengan sigap menggelontorkan
uang lebih dari Rp 6 triliun,
mengapa untuk perusahaan milik
negara langkah seperti itu tak
dilakukan?
Adapun rencana pembatasan
BBM tak lebih merupakan usaha
Pemerintah untuk menuntaskan
liberalisasi sektor Migas seperti
yang digariskan IMF. Kebijakan
itu tentu akan membuat
perusahaan asing leluasa bermain
di sektor hulu dan hilir (ritel/
eceran). SPBU-SPBU asing akan
mengeruk keuntungan besar
dengan kebijakan ini. Ini tentu
sebuah ironi besar. Bagaimana
mungkin rakyat membeli barang
milik mereka dari pihak asing
dengan harga yang ditentukan
oleh mereka, justru di dalam
rumah mereka sendiri?
Kebijakan ekonomi yang makin
liberal itu tentu makin
memberatkan kehidupan ekonomi
rakyat. Pengangguran pun makin
meningkat. Akibatnya, sebagian
dari mereka pun
mencari kerja ke luar negeri.
Namun, bukan uang yang
didapat, tetapi penderitaan dan
penyiksaan seperti yang
menimpa Sumiati, bahkan
pembunuhan seperti yang dialami
Kikim Komalasari dan sejumlah
TKW lain.
5. Intervensi Asing.
DPR yang diidealkan menjadi wakil
rakyat, realitasnya justru
menjadi alat pengesah campur
tangan asing. UU SDA yang
dihasilkan DPR, misalnya, tak lain
merupakan pesanan dari Bank
Dunia. UU lain seperti UU Migas,
UU Penanaman Modal, UU
Minerba, UU Kelistrikan dll juga
diduga sarat kepentingan asing.
Di sisi lain, intervensi asing,
khususnya Amerika Serikat,
bakal kian kokoh setelah naskah
Kemitraan Komprehensif
ditandatangani
Pemerintah. Kunjungan Obama
bulan lalu makin memperkuat
cengkeraman kuku negara
imperialis itu di negeri ini.
Terungkapnya sejumlah dokumen
diplomatik penting terkait
Indonesia melalui situs Wikileaks
hanyalah menegaskan tentang
adanya campur tangan
AS terhadap negeri ini.
6. Isu Terorisme dan Kebrutalan
Densus 88.
Isu terorisme di tahun 2010 tak
juga kunjung padam. Sejumlah
kasus yang diklaim sebagai
tindak terorisme seperti
perampokan Bank CIMB - Niaga di
Medan terjadi. Namun, dari
investigasi yang dilakukan,
terkuak sejumlah kejanggalan
sekaligus kezaliman yang
dilakukan Densus 88. Hal ini
dipertegas oleh kesimpulan yang
dilakukan Komnas HAM. Namun,
Densus 88 tetap bergeming.
Operasi jalan terus, nyaris tanpa
kendali dan kontrol. Korban
mungkin masih akan kembali
berjatuhan di tahun-tahun
mendatang, yang semuanya
adalah Muslim.
7. Konflik Umat dan Aliran Sesat.
Sejumlah konflik umat terjadi di
tahun 2010. Sesungguhnya
konflik itu timbul bukan dipicu
oleh umat Islam seperti yang
banyak dituduhkan. Konflik umat
dengan kelompok Ahmadiyah,
misalnya, terjadi karena
kelompok ini memang keras
kepala. Mereka tak menaati SKB
Tiga Menteri. Demikian juga
konflik umat Islam dengan
kelompok Kristen, terjadi karena
mereka tak menaati ketentuan
menyangkut pendirian tempat
ibadah. Persoalan makin rumit
saat mereka-dengan dukungan
media massa dan jaringan LSM
internasional-memaksakan
kehendak. Terjadilah apa yang
disebut ‘tirani minoritas’ yang
merugikan kaum Muslim,
penduduk mayoritas negeri ini.
8. Musibah dan Bencana.
Sepanjang tahun 2010
negeri ini diwarnai oleh banyak
bencana: tsunami di Mentawai,
longsor di Wasior Papua dan
letusan Gunung Merapi di Jawa
Tengah/DIY. Bencana tersebut
menyisakan sebuah ironi. Bila
diyakini bahwa segala bencana
itu adalah karena qudrah
(kekuatan) dan iradah
(kehendak) Allah SWT, lalu
mengapa pada saat yang sama
kita tetap tak mau tunduk dan
taat kepada Allah SWT dalam
kehidupan kita? Mengapa bangsa
ini tak segera menerapkan
syariah-Nya secara total dalam
seluruh aspek kehidupan sebagai
bukti ketaatannya kepada Allah
SWT? Haruskah bangsa ini
menunggu teguran lain berupa
bencana yang lebih besar lagi?
Sikap Hizbut Tahrir
Indonesia
Berkenaan dengan kenyataan di
atas, Hizbut Tahrir Indonesia
menyatakan:
1. Ada dua faktor utama di
balik berbagai persoalan yang
timbul, khususnya di sepanjang
tahun 2010 ini: sistem yang
bobrok (yakni sistem Kapitalisme-
sekular, termasuk demokrasi di
dalamnya) dan pemimpin
(penguasa/wakil rakyat) yang
tak amanah. Karena itu, bila kita
ingin sungguh-sungguh lepas dari
berbagai persoalan di atas, kita
harus memilih sistem yang baik
dan pemimpin yang amanah.
Sistem yang baik hanya datang
dari Zat Yang Mahabaik, Allah
SWT. Itulah syariah Islam yang
diterapkan dalam sistem
Khilafah. Adapun pemimpin yang
amanah adalah yang mau
sungguh-sungguh menjalankan
sistem yang baik itu itu.
2. Di sinilah sesungguhnya
pentingnya seruan ”Selamatkan
Indonesia dengan Syariah-Menuju
Indonesia Lebih Baik”. Sebab,
hanya dengan sistem yang
berdasarkan syariah dalam
institusi Khilafah dan dipimpin
oleh pemimpin yang amanah
(khalifah) Indonesia benar-benar
bisa menjadi lebih baik. Dengan
itu kerahmatan Islam bagi
seluruh alam bisa diwujudkan
secara nyata.
3. Karena itu, hendaknya
seluruh umat Islam, khususnya
mereka yang memiliki kekuatan
dan pengaruh, berusaha dengan
sungguh-sungguh
memperjuangkan penerapan
syariah dan Khilafah di negeri ini.
Hanya dengan syariah dan
Khilafah saja kita bisa
menyongsong tahun mendatang
dengan lebih baik.
Sebagai catatan akhir, marilah
kita merenungkan ayat ini:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّـهِ حُكْمًا
لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang
mereka kehendaki. Siapakah
yang lebih baik hukumnya
daripada Allah bagi orang-orang
yang yakin? (QS al-Maidah [5]:
50).
Komentar al-islam:
AS tembakan 110 rudal ke
Pakistan selama tahun 2010;
banyak korban dari warga sipil
(Republika, 28/12/2010).
Belumkah cukup bukti bahwa AS-
lah teroris sejati?!