Kado Penguasa
untuk Rakyat di
Tahun Baru 2011:
Kenaikan Harga
BBM Lewat
Pembatasan Subsidi
[Al Islam 538] Rencananya,
mulai Maret 2011 Pemerintah
akan mengurangi subsidi BBM
dengan melarang mobil pribadi
berplat hitam menggunakan BBM
bersubsidi. Pembatasan tersebut
akan dilakukan secara bertahap,
mulai di Jabodetabek hingga
mencakup seluruh Indonesia pada
2013.
Belum tampak penolakan
masyarakat, padahal kebijakan
pembatasan subsidi BBM juga
berdampak sama dengan
kenaikan harga BBM. Setidaknya,
ada enam alasan untuk menolak
kebijakan itu.
Pertama: Indonesia memiliki
cadangan migas yang sangat
besar. Tapi, sebagian besar
justru dikuasai pihak asing. Data
KemESDM 2009, dari total
produksi minyak dan kondensat
di Indonesia, Pertamina hanya
memproduksi 13,8%. Sisanya
dikuasai oleh swasta asing
seperti Chevron (41%), Total E&P
Indonesie (10%), Chonoco Philips
(3,6%) dan CNOOC (4,6%). Ketika
kontrak habis, pemerintah
melalui BP Migas malah
memperpanjang kontrak itu
ketimbang menyerahkannnya
kepada Pertamina. Di sisi lain,
dalam UU Migas 22/2001,
Pertamina diperlakukan sama
dengan perusahaan swasta
sehingga harus bersaing untuk
mendapatkan konsesi
pengelolaan ladang migas.
Kebijakan ini berkebalikan
dengan negara lain seperti
Malaysia yang memberikan
wewenang sangat besar kepada
Petronas sehingga mampu
menggeser dominasi swasta. Di
Cina dan sejumlah negara
Amerika Latin sektor energi
sepenuhnya dikuasai oleh negara.
Sehingga produksi dan harga di
pasar domestik bisa dikendalikan.
Kedua: Bahwa subsidi BBM yang
selama ini dianggap membebani
APBN dan sering salah sasaran
merupakan pernyataan
‘menyesatkan’. Menurut
Pemerintah, subsidi BBM adalah
selisih harga patokan dikurangi
harga eceran yang dijual
Pertamina. Pada Perpres 71/2005
disebutkan bahwa Harga
Patokan adalah harga yang
dihitung setiap bulan
berdasarkan MOPS rata-rata
pada periode satu bulan
sebelumnya ditambah biaya
distribusi dan margin. MOPS atau
Mid Oil Platt’s Singapore adalah
harga transaksi jual-beli pada
bursa minyak di Singapura.
Subsidi tersebut dibayarkan
Pemerintah kepada Pertamina
yang telah menjual BBM dengan
harga eceran yang telah
ditetapkan Pemerintah yang
lebih rendah dari harga patokan
(internasional). Pertanyaannya:
apakah Pertamina betul-betul
rugi karena menjual BBM di
bawah harga patokan? Jika
biaya produksi dan distribusi
lebih rendah dari harga patokan
maka Pertamina tentu rugi.
Namun, jika lebih tinggi maka
Pertamina tetap untung.
Lalu berapa biaya produksi BBM
Pertamina untuk Premium dan
Pertamax? Karena tidak tersedia
data dari Pertamina maka untuk
menghitungnya bisa digunakan
data persentase komponen
harga rata-rata bensin (gasoline
RON 95) di USA yang sebanding
dengan kualitas Pertamax. Harga
Bensin = Minyak Mentah (51%) +
biaya pengilangan & keuntungan
(15%) + biaya distribusi &
pemasaran (12%) + pajak (22%)
(http://tonto.eia.doe.gov). Harga
minyak mentah Pertamina
diperoleh dari biaya produksi,
cost recovery (US$ 940,7 juta)
dibagi total lifting minyak mentah
2007 sebesar 38,9 juta barel
(BPK, Perhitungan Kewajiban
Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(Kkks)). Hasilnya: US$ 24,2/barel
atau US$ 0,15/liter atau Rp 1.368
jika dirupiahkan dengan kurs Rp
9.000. Harga ini sebenarnya
cukup mahal karena cost
recovery Pertamina jauh lebih
tinggi daripada rata-rata cost
recovery perusahaan minyak
Indonesia yang berkisar US$
13,82/barel pada 2007 (http://
www.scribd.com/doc/38206301/
Crude-Oil-Cost-Production ).
Dengan rumus di atas, harga
Pertamax semestinya hanya Rp
2.683/liter. Premium dengan
oktan yang lebih rendah tentu
lebih murah. Lalu mengapa harga
jual Premium dan Pertamax lebih
mahal? Ini karena harga minyak
mentah diperhitungkan
menggunakan harga minyak di
pasar internasional meski
sebagian besar diproduksi oleh
Pertamina sendiri. Dengan
demikian, apa yang dianggap
kerugian Pertamina yang
kemudian diganti oleh Pemerintah
bukanlah merupakan kerugian
nyata, namun hanya potential
loss (hilangnya potensi laba)
karena dijual tidak dengan harga
internasional. Jika demikian maka
dana subsidi Pemerintah
sesungguhnya hanya keluar dari
kantong kanan dan masuk lagi
ke kantong kiri melalui laba yang
diperoleh Pertamina.
Ketiga: Pembatasan BBM
bersubsidi dalam jangka panjang
akan menguntungkan SPBU
Perusahaan Minyak Asing, seperti
Total, Shell, dan Petronas.
Selama ini SPBU-SPBU tersebut
mengalami kerugian karena
konsumen lebih memilih Premium
yang lebih murah, yang dijual
oleh SPBU Pertamina. Dengan
adanya pembatasan subsidi BBM,
maka seluruh pengguna mobil
pribadi dipaksa menggunakan
bahan bakar yang kadar
oktannya lebih tinggi seperti
Pertamax atau yang diproduksi
oleh SPBU asing. Dengan harga
yang lebih murah karena biaya
produksi yang lebih efisien dan
kualitas yang mungkin lebih baik
sangat mungkin konsumen akan
memilih produk SPBU asing
ketimbang Pertamina. Jika tidak
ada inovasi maka kegiatan
Pertamina di sektor hilir
dipastikan akan makin menurun.
Hal ini tentu akan merugikan
Pertamina. Sudahlah di sektor
hulu tergerus, di sektor hilir pun
tersingkir.
Keempat: Kegiatan usaha
Pertamina belum berjalan secara
efisien khususnya dalam produksi
dan pengadaan minyak mentah.
Menurut temuan BPK tahun 2008
(BPK, Pengadaan Minyak Mentah
dan Produk Kilang Tahun 2007
dan 2008 (Semester I) pada
Pertamina), disebutkan sumber
ketidakefisienan Pertamina
antara lain: (a) Dalam pengadaan
minyak mentah dan BBM,
Pertamina cenderung
mengimpornya melalui jasa
rekanan yang sarat dengan
manipulasi sehingga menjadi
mahal. (b) Pertamina lebih
banyak menggunakan kapal sewa
daripada kapal milik sendiri
sehingga biaya angkut lebih
mahal. (Pertamina, Annual Report
2007). (c) Dalam jumlah tertentu,
Pertamina lebih memilih untuk
mengimpor daripada
menggunakan produksi dalam
negeri yang tidak membutuhkan
biaya pengapalan. (d) Pertamina
mengimpor BBM karena
keterbatasan kapasitas kilang
yang hanya sebesar 1 juta barel
perhari, hanya memenuhi 63%
kebutuhan dalam negeri. Padahal
dengan memproduksi sendiri
biayanya akan lebih murah
sehingga harga minyak yang
dijual akan lebih rendah.
Kelima: Pembatasan subsidi BBM
merupakan langkah bertahap
Pemerintah untuk menghapus
subsidi BBM. Dan ini akan
menekan daya beli masyarakat
khususnya masyarakat miskin.
Pembatasan subsidi BBM yang
diikuti dengan pemaksaan mobil
plat hitam untuk mengkonsumsi
Pertamax dipastikan akan makin
membebani rakyat. Harga
Pertamax mengikuti harga pasar
internasional (seperti sekarang
dengan harga minyak
internasional di atas 90 USD/
barel, harga Pertamax di atas Rp
7000). Padahal harga tersebut
banyak dipengaruhi oleh
kegiatan spekulasi. Membiarkan
harga tidak terkendali akan
membuat pengeluaran rakyat
untuk BBM membengkak. Padahal
tidak semua mobil plat hitam
digunakan untuk transportasi
pribadi. Sebagian besar angkutan
barang termasuk bahan
makanan saat ini masih
menggunakan plat hitam. Maka,
penggunaan BBM non subsidi
secara pasti membuat harga
barang ikut naik. Jika hal itu
terjadi maka kehidupan
masyarakat akan semakin
sengsara akibat makin mahalnya
biaya hidup.
Keenam: Pembatasan BBM dan
kebijakan memberikan peran
lebih besar kepada pihak asing
dalam pengelolaan migas
merugikan rakyat, dan ini
bertentangan syariah Islam.
Migas dan sumber daya alam lain
yang melimpah dalam pandangan
Islam merupakan milik rakyat
yang harus dikelola oleh negara
untuk kesejahteraan rakyat.
Pengelolaan SDA dengan lebih
banyak menyerahkan kepada
pihak swasta adalah kebijakan
yang sangat kapitalistik.
Kapitalisme adalah sistem batil,
dan karenanya harus diganti
dengan sistem Islam dalam
Khilafah. Khilafah akan
menerapkan seluruh syariah
Islam dalam kehidupan
bernegara, termasuk dalam
pengelolaan migas. Dalam
Khilafah, kepala negara (Khalifah)
bertanggung jawab mengurus
segala urusan rakyatnya. Pihak
swasta boleh berperan, tapi
dalam sektor yang tidak
menyangkut hajat hidup rakyat
banyak. Maka, kerahmatan akan
dirasakan seluruh rakyat.
الإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ
رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) yang memimpin
manusia adalah pengurus rakyat.
Dia bertanggung jawab atas
urusan rakyatnya (HR al-Bukhari
dan Muslim).
Wallahu a’lam bi ash-
shawab. []
Komentar al-islam:
RI: Serangan Alexandria (Mesir)
Bukti Terorisme Masih
Mengancam (Antara, 4/1/2011).
Mengapa tidak berani
menyatakan bahwa Amerika
Serikat dan Israel adalah teroris
negara, yang tidak hanya
mengancam, tetapi terus
menebar teror dengan banyak
membunuh kaum Muslim di Irak,
Afganistan, Palestina dsb. Inilah
kedustaan atas nama terorisme
sekaligus menunjukkan sikap
paranoid para penguasa Muslim.