[Al Islam 539] “Demokrasi
ternyata gagal menghasilkan
kepala daerah yang jujur, bersih,
dan tahu malu.” Demikian kutipan
dari editorial sebuah media
harian nasional (MI, 10/1/2011).
Ini adalah sebuah ungkapan jujur
tentang demokrasi. Sekalipun
bukan hal baru, ungkapan
tersebut mengingatkan kembali
umat Islam tentang hakikat dan
fakta dari sistem demokrasi yang
diadopsi oleh negeri ini.
Dalam berbagai forum, Indonesia
mendapat pujian sebagai negara
demokratis. Namun, apakah
dengan status demokratisnya
negeri ini telah mampu
melahirkan kepemimpinan yang
amanah? Apakah demokrasi bisa
mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan dalam seluruh aspek
kehidupan warga negaranya?
Tentu, kita merasa miris kalau
melihat fakta aktual: sepanjang
tahun 2010 tercatat 148 dari
244 kepala daerah menjadi
tersangka. Kebanyakan
tersangkut kasus korupsi.
Bahkan sebagian dari pemenang
Pilkada 2010 berstatus
tersangka dan meringkuk di
penjara. Contoh nyata, Jefferson
Soleiman Montesqiu Rumajar
terpilih menjadi Walikota
Tomohon-Sulut periode
2010-2015 dan dilantik oleh
Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo
Harry Sarundajang, pada rapat
paripurna istimewa DPRD
Tomohon, di Jakarta, Jumat
(7/1). Padahal Jefferson sedang
duduk di kursi pesakitan; ia
dijadikan tersangka oleh KPK
karena tindak pidana Korupsi.
Yang lebih menggelikan, Jeferson
lalu dengan gagah perkasa
melantik sejumlah pejabat Kota
Tomohon di LP Cipinang. Baik
yang melantik dan yang dilantik
seolah sudah putus urat nadi
rasa malunya. Jajaran pejabat
yang akan mengurus rakyat
dilantik oleh seorang terdakwa
yang tersandung kasus ketika
mengelola uang rakyat.
Jadi, rasanya omong-kosong kita
berharap bahwa sistem
demokrasi bisa melahirkan para
pemimpin yang amanah. Begitu
juga terkait kesejahteraan.
Pasalnya, demokrasi hanya
menjadi tempat bagi orang-
orang dan kelompok oportunis
untuk mentransaksikan
kepentingan-kepentingan perut
dan nafsunya.
Biaya Mahal, Hasilnya Nol
Selama tahun 2010, tercatat
sebanyak 244 Pilkada
dilangsungkan dengan menelan
biaya lebih dari Rp 4,2 triliun.
Perlu dicatat, beberapa Pilkada
akhirnya juga mengalami
pengulangan pada tahun 2011
seperti kasus di Tangerang
Selatan, setelah MK menerima
gugatan ihwal banyaknya
kecurangan dalam
pelaksanaannya. Biaya ini jauh
lebih besar daripada Pilkada
tahun sebelumnya. Pilkada Tahun
2007 yang berlangsung di 226
daerah saja, yakni di 11 provinsi
dan 215 kabupaten/kota,
menelan dana sekitar Rp 1,25
triliun. Penghamburan uang
rakyat itu terjadi di tengah-
tengah kondisi yang sangat
memilukan; pada tahun 2010
tercatat lebih dari 31 juta
(13,3%) dari 237 juta penduduk
Indonesia dalam kondisi miskin
luar biasa. Dalam hal ini, hasil
Pilkada tak pernah mengubah
nasib rakyat. Yang berubah
nasibnya hanyalah para
penguasa dan kroni-kroninya
saja.
Pilkada yang bertujuan
menyertakan rakyat secara
langsung untuk menentukan
pemimpinnya sendiri di tingkat
lokal/daerah pada faktanya juga
telah melahirkan dampak negatif.
Masyarakat, misalnya, menjadi
terkotak-kotak bahkan saling
berhadap-hadapan. Hubungan
sosial menjadi renggang. Tak
jarang proses Pilkada ini
melahirkan bentrokan yang
mengarah pada tindakan
kekerasan.
Semua itu niscaya terjadi karena
banyak faktor. Pertama: Banyak
aturan Pilkada yang tumpang-
tindih. Hal ini akibat terlalu
besarnya dominasi partai politik
dalam Pilkada. Kedua: Masih
lemahnya pendidikan politik
untuk masyarakat. Lemahnya
pemahaman politik masyarakat
ini ditunjukkan dengan masih
banyaknya incumbent (pejabat
lama) yang terpilih kembali.
Padahal incumbent ini telah gagal
dalam mensejaherakan
rakyatnya. Ketiga: terjadi
kecurangan dalam proses
pemilihan tanpa penyelesaian
hukum yang adil, misalnya,
menggunakan politik uang. Hal ini
jelas menimbulkan kecemburuan
di kalangan calon yang “miskin”.
Faktanya, banyak Pilkada
berakhir di pengadilan.
Demokrasi: Akar Masalah
Secara sederhana, politik saat ini
diartikan sebagai proses
interaksi pemerintah dengan
masyarakat untuk menentukan
kebijakan publik (public policy)
demi kebaikan bersama. Sistem
politik yang dianut Indonesia
adalah demokrasi. Demokrasi kini
telah menjelma menjadi sebuah
paham, bahkan semacam ‘agama’
yang menglobal, yang nyaris
tanpa koreksi. Gagasan dasar
demokrasi adalah kedaulatan
rakyat. Intinya, kewenangan
membuat hukum ada di tangan
manusia. Demokrasi selalu
dianggap sebagai tatanan atau
sistem politik yang paling ideal.
Dalam sistem demokrasi, rakyat
diasumsikan akan benar-benar
berdaulat dan mendapatkan
seluruh aspirasinya. Dari sana,
melalui proses politik yang
demokratis, lantas dibayangkan
bakal tercipta sebuah kehidupan
masyarakat yang ideal: adil,
damai, tenteram dan sejahtera.
Namun, semua itu hanyalah
bayangan, bahkan tipuan. Dalam
tataran praktik gagasan ideal itu
tak pernah terwujud. Dalam
negara demokrasi,
yang sering berlaku adalah
hukum besi oligarki, yakni
sekelompok penguasa (dan
pengusaha) saling bekerjasama
untuk menentukan kebijakan
politik, sosial
dan ekonomi negara tanpa harus
menanyakan bagaimana aspirasi
rakyat yang sebenarnya. Partai
politik dan wakilnya di Parlemen
bekerja lebih untuk memenuhi
aspirasinya sendiri.
Maka dari itu, tidak ada yang
namanya masyarakat yang adil,
damai, tenteram dan sejahtera
dalam sistem demokrasi. Yang
ada justru ketidakadilan yang
makin menganga. Kesejahteraan
memang ada, tetapi hanya untuk
segelintir elit yang berkuasa.
Sebaliknya, kebanyakan rakyat
sengsara dan menderita; jauh
dari gambaran ideal yang
diharapkan.
Bagaimana bisa diharap ada
keadilan bila sistem demokrasi
malah melahirkan banyak pejabat
dan penguasa yang lebih pantas
disebut penjahat. Mereka adalah
para tersangka berbagai kasus
tindak pidana (terutama
korupsi). Ini karena banyak dari
proses politik berlangsung secara
transaksional. Pragmatisme
politik baik demi kekuasaan
ataupun uang lebih banyak
berperan. Kekuasaan diperlukan
untuk mendapatkan uang. Uang
diperlukan untuk mendapatkan
kekuasaan atau kekuasaan yang
lebih besar lagi. Kekuasaan dan
uang juga diperlukan untuk
menutup seluruh kebusukan
yang telah dilakukan selama
berkuasa.
Dalam kondisi demikian,
kepentingan rakyat dengan
mudah terabaikan. Bagi
penguasa, rakyat hanyalah alat
untuk meraih kuasa. Akhirnya,
bukan kedaulatan rakyat yang
menjadi ‘ruh’ dari sistem
demokrasi, melainkan kedaulatan
kapital dari para pemilik modal
atau penguasa yang didukung
oleh para pemodal. Inilah
kenyataan umum di negara-
negara penganut demokrasi,
tanpa kecuali, termasuk di AS
dan Eropa sebagai kampiun
demokrasi.
Oleh karena itu, pujian terhadap
Indonesia yang dianggap sebagai
‘jawara demokrasi’ dengan
julukan “Indonesia’s Shining
Muslim Democrazy” (Demokrasi
Muslim Bersinar di Indonesia)
hanya karena dianggap sukses
menyelenggarakan Pileg dan
Pilpres tahun 2004 dan 2009
secara damai perlu
dipertanyakan. Sebab faktanya,
keberhasilan itu tidak selaras
dengan perbaikan hidup rakyat.
Justru melalui pintu
demokratisasilah liberalisasi di
semua sektor kehidupan terjadi,
dengan segala implikasi buruknya
yang makin sulit dikendalikan.
Tak aneh bila kemudian banyak
orang melihat demokrasi
sesungguhnya adalah sistem
politik yang bermasalah. Tokoh
Barat sendiri, Winston Churchil,
menyatakan, “Democracy is
worst possible form of
government (Demokrasi adalah
kemungkinan terburuk dari
sebuah bentuk pemerintahan).”
Benjamin Constan juga berkata,
“Demokrasi membawa kita
menuju jalan yang menakutkan,
yaitu kediktatoran parlemen.”
Jadi, benar bahwa problem
politik, bahkan juga problem
ekonomi, problem sosial dan
budaya (perilaku amoral) berawal
dari demokrasi, yang tragisnya
justru dianggap sebagai sistem
politik yang paling baik. Na’udzu
billah.
Saatnya Kembali ke Sistem
Islam
Dasar politik yang diterapkan di
Indonesia adalah sekularisme,
paham yang memisahkan agama
dari kehidupan. Hukum
bersumber dari akal dan hawa
nafsu manusia melalui proses
demokrasi. Hukum dibuat oleh
segelintir orang yang tidak lepas
dari kepentingan, baik
kepentingan uang ataupun
kekuasaan.
Selama sekularisme dengan
demokrasinya yang diterapkan,
selama itu pula yang terjadi
adalah kerusakan dan
keterpurukan. Hanya syariah
Islam yang bisa menjamin keadilan
karena ia berasal dari Zat Yang
Mahaadil. Tetap menerapkan
sekularisme dengan
demokrasinya berarti
meninggalkan hukum terbaik,
yakni hukum Allah SWT,
sebagaimana al-Quran
menegaskan:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا
لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang
mereka kehendaki. (hukum)
siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin? (QS
al-Maidah [5]: 50).
Untuk itu, negeri ini harus
segera mengubur sekularisme,
lalu menggantinya dengan akidah
dan syariah Islam. Segera
tinggalkan demokrasi dengan
kedaulatan rakyatnya, lalu ubah
dengan sistem Khilafah dengan
kedaulatan hukum syariahnya.
Inilah yang akan menjamin
kesejahteran, keadilan dan
keberkahan di dunia serta
kebahagiaan abadi di akhirat
kelak. Wallahu a’lam. []
KOMENTAR AL-ISLAM
Kesenjangan pendapatan di
antara kelompok masyarakat di
Indonesia terus melebar. Ini
terjadi lantaran belum ada
keseriusan Pemerintah untuk
menciptakan ekonomi yang
berkeadilan (Media Indonesia,
7/1/2011).
Hanya ilusi, mengharapkan
keadilan dari sistem ekonomi
liberal-kapitalistik. Sistem ini
hanya menjamin kesejahteraan
bagi orang-orang yang ada
dalam oligharki kekuasaan.
Rakyat hanya jadi ’sapi perah’
penguasa dan wakil rakyat
dengan kebijakan-kebijakan yang
memberatkan mereka: pajak,
pencabutan subsidi BBM,
kenaikan tarif listrik, dll. Solusi
final problem ini hanya dengan
menegakan sistem ekonomi Islam
dalam institusi Khilafah ‘ala
Minhaj an-Nubuwwah, yang
menerapkan syariah Islam secara
total dalam seluruh aspek
kehidupan.