[Al Islam 543] Bentrokan fisik
kembali pecah antara
masyarakat dengan jemaat
Ahmadiyah, terjadi sekitar pukul
10.30 Wib hari Ahad (6/2/2011),
di kampung Pasir Peuteuy, Desa
Umbulan, Kecamatan Cikeusik,
Kabupaten Pandeglang, Banten.
Akibatnya tiga orang tewas dan
sejumlah lainya luka-luka.
Menurut beberapa sumber
informasi yang bisa dipercaya,
bentrokan dipicu oleh sikap dan
pernyataan jemaat Ahmadiyah
yang provokatif terhadap
masyarakat setempat. Kapolri
Timur Pradopo menyatakan para
penentang Ahmadiyah adalah
warga setempat dan sementara
Jemaat Ahmadiyah dibantu
sekitar 15 orang yang disinyalir
datang dari Bekasi (Republika,
7/2) -menurut sebagian media
lain, jumlahnya sekitar 20 orang
lebih datang dari Jakarta -
dengan maksud mengamankan
aset Ahmadiyah dan membela
jemaat Ahmadiyah sampai titik
darah penghabisan.
Peristiwa itu mendapat sorotan
banyak pihak, baik pemerintah,
pemuka agama, tokoh
masyarakat dan LSM bahkan
pihak asing. Apalagi ketika
peristiwa terjadi, tengah
diselenggarakan “World Interfeith
Harmony Week” oleh Inter
Religious Council (IRC) di Istora
Senayan, Jakarta, Ahad (6/2)
yang bertujuan mendorong
kerukunan dan toleransi serta
mengakhiri pertikaian dan
kekerasan antar umat
beragama.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono meminta semua pihak
untuk mematuhi Surat
Keputusan Bersama (SKB) Tiga
Menteri mengenai Ahmadiyah
(Republika, 8/2). Presiden SBY di
Jakarta, Ahad (7/2)
mengungkapkan, “Kalau
kesepakatan itu diindahkan,
dipatuhi, dan dijalankan,
bentrokan seperti ini apalagi
tindakan kekerasan,
sesungguhnya dapat dicegah”.
SKB yang dimaksud yaitu SKB
(Surat Keputusan Bersama)
Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008/
Nomor: 199 Tahun 2008,
ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 9 Juni 2008, yang
ditandatangani oleh Menag,
Jaksa Agung dan Mendagri
waktu itu.
Kita tidak habis pikir, kenapa
kasus Ahmadiyah tidak kunjung
usai? Seolah pemerintah hanya
bisa menghimbau, mengevaluasi
tapi minus solusi dan langkah
tegas. Wajar jika kemudian
muncul anggapan, pemerintah
tidak konsisten dan “sengaja”
melakukan pembiaran atas
gesekan-gesekan fisik
masyarakat dengan Ahmadiyah.
Bahkan “isu Ahmadiyah” seakan
sengaja dipelihara dan dijadikan
komoditas politik dan
kepentingan kelompok tertentu.
Waspadai Politisasi
Sesaat setelah peristiwa
“Cikeusik” meletus, ada upaya
tertentu untuk memblow-up
peristiwa itu -ditambah lagi
peristiwa Temanggung-. Peristiwa
itu dijadikan bukti untuk
mengatakan buruknya toleransi
kehidupan beragama di negeri ini.
Umat Islam pun kembali menjadi
tertuduh.
Peristiwa “Cikeusik” -juga
Temanggung- digunakan oleh
para pengusung ide-ide sesat
sepilis (sekularisme, pluralisme,
dan liberalisme) untuk
mengkampanyekan ide toleransi,
pluralisme, dan kebebasan ala
mereka. Hal itu tidak aneh, sebab
selama ini mereka begitu getol
dengan segala cara dan sarana
mengkampanyekan ide-de
sekularisme, pluralisme dan
liberalisme. Mereka juga getol
mendesak pemerintah untuk
menjamin pelaksanaan ide-ide itu
di tengah masyarakat. Jargon
“HAM” pun mereka gunakan
untuk melindungi eksistensi
kelompok sesat dan menodai
keyakinan umat Islam.
Di tahun 2010 kemarin, melalui
AKKBP mereka melakukan Judicial
Review terhadap undang-undang
PNPS No.1 tahun 1965 tentang
penodaan agama dan ditolak oleh
MK (Mahkamah Konstitusi). Maka
peristiwa “Cikeusik” -juga
Temanggung- terlihat jelas
upaya politisasi untuk
menyuarakan pentingnya
“kebebasan beragama” dan
mengkambinghitamkan kelompok-
kelompok (ormas) yang mereka
tuduh menjadi inspirator
tindakan kekerasan. Bahkan MUI
dan SKB Tiga Menteri tentang
Ahmadiyah mereka tuding
menjadi salah satu pemicu
kekerasan terhadap jemaat
Ahmadiyah.
Tentu saat ini umat harus
berfikir kritis dan bersikap
waspada atas setiap manuver
yang menjadikan umat Islam
sebagai pihak tertuduh atas
setiap peristiwa kekerasan.
Jangan sampai karena merasa
tertuduh, umat justru
terperangkap menerima ide
toleransi, pluralisme, dan
kebebasan yang mereka
sebarkan itu.
Mengurai Masalah
Jika masalah Ahmadiyah ini diurai,
setidaknya ada beberapa
penyebab sehingga masalah itu
menjadi “bisul” menahun dalam
kehidupan kaum muslim di
Indonesia.
Pertama, kelompok Ahmadiyah
sebagai kelompok sesat tetap
dibiarkan eksis dan mengklaim
diri bagian dari Islam dan kaum
muslim. Padahal kesesatan
Ahmadiyah telah menjadi perkara
yang disepakati (mujma’ alaihi)
dan jelas. MUI telah
mengeluarkan fatwa kesesatan
Ahmadiyah pada tanggal 1 Juni
1980/17 Rajab 1400H dan
ditegaskan lagi pada tahun 2005.
Lebih awal, Rabithah Alam Islami
(Lembaga Muslim Dunia) telah
mengeluarkan fatwa sesatnya
Ahmadiyah pada tahun 1974.
Usaha dialog dan dakwah yang
persuasif kepada mereka selama
ini juga tidak dihiraukan dan
jemaat Ahmadiyah tetap kukuh
dengan keyakinan sesatnya yang
menodai keyakinan umat Islam.
Mereka pun tetap kukuh
mengklaim bagian dari Islam dan
umat Islam.
Kedua, keberadaan individu dan
kelompok pengusung ide Sepilis
yang dengan kedok HAM dan
Demokrasi berusaha membela
kelompok sesat Ahmadiyah.
Keberadaan mereka bisa ikut
andil melanggengkan masalah ini,
bukan menyelesaikannya. Dalam
koridor Demokrasi, kelompok ini
menjadi ganjalan bagi pemerintah
untuk bersikap tegas. Apalagi
jika para penguasa, cara
berfikirnya juga liberal, lebih
memperhatikan citra agar
dianggap seorang yang
demokratis, moderat dan
humanis dan meraih dukungan
dari pihak asing (Barat).
Ketiga, ketidaktegasan
pemerintah. SKB tidak dijalankan
dan dilanggar, tetapi tidak ada
tindakan. Pemerintah pun tidak
tegas memposisikan Ahmadiyah,
padahal telah jelas menyimpang
dan di luar Islam. Di sinilah
pemerintah terlihat lalai bahkan
“gagal” melindungi keyakinan
mayoritas umat Islam.
Yang dibutuhkan adalah
kejelasan dan ketegasan
pemerintah. Pemerintah hanya
punya dua pilihan. Pilihan
pertama, membiarkan Ahmadiyah
seperti semula. Pilihan ini sangat
berbahaya. Itu artinya masalah
Ahmadiyah akan terus terjadi.
Bahkan justru akan
mengakumulasi rasa
ketidakadilan dan
ketersinggungan mayoritas umat
Islam Indonesia yang merasa
akidahnya dinodai oleh kelompok
Ahmadiyah. Masalah itu akan
menjadi “bara dalam sekam”
tinggal menunggu pemantiknya,
bisa berkobar makin liar dan
tentu akan sangat merugikan
bagi kehidupan umat.
Pilihan kedua, bubarkan
Ahmadiyah dan jika Ahmadiyah
tetap ngotot dengan
pendiriannya, maka pemerintah
dengan dukungan mayoritas
umat Islam bisa menetapkan
Ahmadiyah bukan lagi bagian dari
Islam dan jemaatnya bukan
orang Islam. Mantan Ketua Umum
PBNU, KH Hasyim Muzadi
mengatakan, Ahmadiyah
sebaiknya menjadi agama sendiri
yang berada di luar Islam, sebab
ajaran itu bermasalah karena
mengatasnamakan Islam tetapi
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
“Seandainya Ahmadiyah menjadi
agama sendiri, maka Ahmadiyah
itu dalam posisi menjalani hak
sebagai warga negara dalam
beragama”. Ia menegaskan,
“Penodaan agama itu berbeda
dengan kebebasan beragama. Ini
kadang orang tidak bisa
membedakan” (Republika.co.id,
7/2).
Kunci penyelesaian masalah ini
bergantung kepada keberanian
dan ketegasan pemerintah
mengimplementasikan SKB yang
ada. Jangan sampai pemerintah
bersikap hipokrit. Satu sisi, dalam
SKB jemaat Ahmadiyah dinilai
beraliran sesat dan tidak boleh
menyebarkan keyakinan mereka
kepada umat Islam dan bila
melanggar akan dikenakan
sanksi. Jika masih membandel
akan dibubarkan. Tapi, ketika MUI
dan masyarakat sudah
melaporkan bahwa sampai saat
ini jemaat Ahmadiyah masih
menjalankan keyakinannya dan
tidak berubah sama sekali,
pemerintah tidak merespon dan
mengambil tindakan semestinya.
Tentu ini melahirkan kekecewaan
umat.
Maka yang ditunggu umat Islam
hingga saat ini adalah bukti dan
realisasi dari SKB, bukan sekadar
himbauan. Jika tidak, kelompok
Ahmadiyah yang jumlahnya tidak
sampai 0,01 persen dari
penduduk Indonesia itu, akan
terus menodai keyakinan umat
Islam, mayoritas penduduk negeri
ini, dan bahkan terus menjadi
pemantik gesekan-gesekan fisik
dalam kehidupan beragama,
khususnya di tengah umat Islam.
Para penguasa hendaknya
merenungkan peringatan Allah
SWT:
} ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺮْﻛَﻨُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﻇَﻠَﻤُﻮﺍ ﻓَﺘَﻤَﺴَّﻜُﻢُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ ﻭَﻣَﺎ ﻟَﻜُﻢْ
ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀَ ﺛُﻢَّ
ﻟَﺎ ﺗُﻨْﺼَﺮُﻭﻥَ {
Dan janganlah kamu cenderung
kepada orang-orang dzalim yang
menyebabkan kamu disentuh api
neraka, dan sekali-kali kamu
tiada mempunyai seorang
penolongpun selain daripada
Allah, kemudian kamu tidak akan
diberi pertolongan
(QS.Hud:112-113).
Wahai Kaum Muslim
Jelas bahwa ide sekularisme,
pluralisme, dan liberalisme yang
diterapkan di negeri ini adalah
ide buruk dan menyebabkan
keburukan. Jelas pula bahwa
selama pemerintah masih
menjunjung ide-ide itu, masalah
Ahmadiyah dan penodaan
keyakinan umat Islam akan terus
terjadi.
Karena itu sudah saatnya, umat
Islam menerapkan syariah Islam
dan mewujudkan pemerintahan
yang menerapkannya. Sehingga
semua masalah akan bisa
diselesaikan dan keadilan akan
dirasakan oleh semua, termasuk
non muslim seperti yang telah
ditampilkan berabad-abad dalam
sejarah kaum muslim. WalLâhu
a’lam bi ash-Shawâb.
Komentar al-Islam
BPS: Perekonomian Indonesia
tumbuh 6,1 % dan pendapatan
per kapita mencapai Rp. 27 juta
per tahun (Kompas, 8/2)
1. Faktanya: menurut BPS tahun
2010 rakyat miskin (pendapatan
per kapita kurang dari Rp. 2,4
juta per tahun atau Rp. 200 ribu
per bulan) 31,02 juta orang;
penduduk yang layak menerima
beras miskin 70 juta orang;
penduduk yang berhak dapat
Jamkesmas, 76,4 juta orang.
2. Artinya pertumbuhan dalam
sistem ekonomi kapitalis, yang
kaya makin kaya, yang miskin
makin banyak dan tetap miskin.
Terapkan Sistem Ekonomi Islam
dalam bingkai Khilafah, dijamin
kekayaan terdistribusi dengan
adil.