The Soda Pop
TUNDUK DAN BERKORBAN DEMI TEGAKNYA SYARIAH DAN KHILAFAH [Al-Islam 482] Hari ini kaum Muslim di seluruh dunia kembali merayakan Hari Raya Idul Adha. Pada hari yang agung ini, kaum Muslim menggemakan takbîr, tahmîd, tashbîh dan tahlîl; berbondong-bondong menunaikan shalat Id dan mendengarkan khutbah, kemudian diteruskan dengan menyembelih dan membagi-bagikan hewan kurban. Selama Hari Tasyriq, alunan kalimat thayyibah itu pun masih akan terus terdengar. Pada saat yang sama, di Tanah Haram, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul memenuhi panggilan Allah, bersama-sama menunaikan ibadah haji dengan segala rangkaian manasiknya. Mereka berbaur menjadi satu tanpa dibatasi sekat kebangsaan, warna kulit dan aliran. Realitas ini menunjukkan bahwa sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Mereka diikat dengan akidah yang sama, yakni akidah Islam; diatur dengan hukum yang sama, yaitu hukum Islam; memiliki kitab yang sama, yakni al-Quran; serta menghadap kiblat yang sama, yaitu Baitullah al-Haram. Namun sayang, persatuan itu hanya sesaat dan terbatas dalam perkara ibadah ritual. Di luar itu, kondisi mereka amat memprihatinkan. Pertikaian, konflik hingga pertumpahan darah sesama umat Islam masih menjadi problem serius yang belum teratasi. Ukhuwah Islamiyah masih sebatas seruan dan persatuan umat baru sebatas dambaan. Mengapa ini bisa terjadi? Karena umat Islam saat ini tidak lagi hidup dalam satu kepemimpinan dan satu institusi negara. Padahal selain dipersatukan oleh akidah, hukum, rasul, kitab dan kiblat yang sama, umat Islam juga wajib hidup dalam satu kepemimpinan dan satu institusi negara. Itulah Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah, yang memerintah dengan syariah Islam. Sesungguhnya kesatuan umat dalam kepemimpinan dan institusi Khilafah ini amat penting. Sedemikian pentingnya hingga perkara ini ditetapkan sebagai salah satu al-qâdhiyyah al-mashîriyyah (perkara utama) umat ini, karena menyangkut hidup-matinya umat Islam. Bahkan Baginda Rasulullah saw. menegaskan, bahwa siapa pun yang berani memecah-belah kesatuan umat dalam kepemimpinan Khilafah ini harus dihukum mati! Beliau bersabda: «مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ» Siapa saja yang mendatangi kalian—sementara urusan kalian berada di tangan seseorang (khalifah)—dengan maksud hendak memecah-belah kesatuan dan jamaah kalian, bunuhlah dia! (HR Muslim). Hadis ini amat jelas menunjukkan kewajiban umat Islam berada dalam satu kepemimpinan Khilafah. Ketika mereka berada dalam satu jamaah di bawah kepemimpinan seorang khalifah, lalu ada orang lain yang datang ingin memecah persatuan dan jamaah mereka, maka orang tersebut wajib dijatuhi hukuman mati. Kita semua telah menyaksikan betapa umat Islam saat ini menderita saat tidak hidup dalam satu kepemimpinan Khilafah. Selama tiga belas abad umat Islam hidup dengan penuh keberkahan dalam institusi Khilafah. Sebaliknya, mereka kini menderita dan terpecah-belah dalam puluhan negara kecil. Umat yang dulu disegani ini pun berubah menjadi umat yang lemah. Keadaan ini diperparah oleh sikap rezim penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak peduli terhadap Islam dan umatnya. Akibatnya, meskipun kaum kafir telah nyata-nyata menumpahkan darah, menguras harta kekayaan dan menginjak-injak kehormatan kaum Muslim, para penguasa itu hanya diam. Bahkan saat Rasulullah saw. dilecehkan dalam gambar-gambar kartun, al-Quran dihinakan dan mushafnya dimasukkan ke dalam WC di Penjara Guantanamo, Islam dicerca sebagai agama teroris dan Masjid al-Aqsha dikangkangi, dibakar dan hendak dirobohkan oleh kaum kafir Yahudi, para penguasa itu pun tidak merasa terusik. Kondisi umat Islam benar-benar laksana buih yang diombang-ambing oleh gelombang. Sungguh amat menyedihkan! Setiap Hari Raya Idul Adha, kita selalu diingatkan kisah tentang ketundukan, ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim as. dan putranya dalam menjalankan perintah Allah SWT. Saat Nabi Ibrahim as. diperintahkan untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail as., keduanya segera bergegas melaksanakan perintah Allah. Tak tampak sama sekali keraguan, keengganan apalagi penolakan. Keduanya dengan ikhlas menunaikan perintah Allah SWT meski harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga dan dicintai. Ibrahim rela kehilangan putranya. Ismail pun tak keberatan kehilangan nyawanya (Lihat: QS ash-Shaffat [37]: 102-104). Ketundukan dan pengorbanan sesungguhnya telah menjadi tabiat para kekasih Allah (khalîlu-Llâh). Dalam menyebarkan risalahnya, Qudwatunâ wa Uswatunâ Rasulullah saw. telah mempertaruhkan semua yang dimilikinya. Berbagai penentangan dan perlawanan orang-orang kafir sama sekali tidak membuat beliau mundur. Bahkan beliau bersumpah tidak akan berhenti berjuang hingga Islam Allah menangkan atau beliau binasa karenanya. Ketundukan dan pengorbanan juga ditunjukkan oleh para Sahabat Nabi saw. Lihatlah peristiwa heroik yang ditunjukkan oleh generasi awal umat terbaik ini. Di antaranya adalah Muhaishah, Sahabat Rasulullah saw., yang mengikuti perintah beliau untuk membunuh seorang Yahudi dalam sebuah peperangan. Yahudi yang dibunuhnya itu tak lain adalah pedagang yang biasa memberi pakaian kepadanya. Kakak Muhaishah, yang belum memeluk Islam, yaitu Huwaishah, marah kepada adiknya itu, seraya memukul dan menghardiknya, “Apakah kamu membunuhnya? Demi Allah, makanan di dalam perutmu itu berasal dari hartanya.” Muhaishah menjawab, “Demi Allah, sekiranya orang yang memerintahkan aku untuk membunuhnya memerintahkan pula untuk membunuhmu, pasti aku akan memenggal lehermu.” Dengan nada heran Huwaishah bertanya lagi, “Demi Allah, kalau Muhammad memerintahkan kamu membunuhku, kamu akan membunuhku?” Muhaishah menjawab dengan tegas, “Benar!” Allahu Akbar! Inilah perwujudan ketaatan generasi emas: generasi para Sahabat Rasulullah saw. Bercermin pada ketundukan mereka, kita pun patut bertanya kepada diri kita: Sudahkah kita memiliki ketaatan total kepada Allah dan Rasul-Nya? Ataukah sebaliknya, kita hanya mau tunduk pada sebagian perintah-Nya, namun menolak sebagian perintah-Nya yang lain? Saat Allah SWT memerintahkan shalat, puasa atau haji, kita segera bergegas mengerjakannya. Saat Allah SWT melarang berzina, mencuri atau memakan babi, kita pun tak keberatan untuk meninggalkannya. Namun, saat Allah SWT memerintahkan untuk menerapkan syariah-Nya dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan pidana, mengapa di antara kita masih ada yang mempertanyakan, merasa keberatan bahkan menyatakan penolakannya? Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah akidah yang kita yakini menuntut kita untuk memiliki ketundukan dan ketaatan total kepada seluruh syariah-Nya? Apakah kita tidak tahu bahwa sikap mengimani sebagian dan mengingkari sebagian lainnya dapat mengantarkan pelakunya pada kekufuran, kehinaan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat? (Lihat QS al-Baqarah [2]: 85, al-Nisa [4]: 150-151). Apakah kita juga tidak sadar dengan kalimat tauhid—Lâ ilâha illâl-Lâh—yang kita ucapkan berulang-ulang itu? Ketahuilah, bahwa kalimat tauhid itu bukan hanya berisi pengakuan tentang keesaan Allah SWT semata, namun di dalamnya terkandung ikrar bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Zat yang berhak dan wajib disembah dan ditaati. Konsekuensinya, kita harus tunduk dan patuh pada seluruh hukum-Nya. Ucapan yang keluar dari seorang Mukmin dalam merespon semua seruan-Nya hanyalah sami’nâ wa atha’nâ (Lihat: QS an-Nur [24]: 51). Kita juga patut bertanya: Sejauh manakah pengorbanan kita dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT? Sudahkah kita sanggup merelakan harta, jabatan, keluarga, bahkan jiwa dan raga kita demi menegakkan agama-Nya? Ataukah kita masih merasa berat dan enggan melakukannya? Jangankan nyawa; berkorban dengan sedikit tenaga, pikiran, harta dan waktu saja kadang masih terasa sulit. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah kita dituntut untuk meletakkan kecintaan kepada Allah SWT, Rasul dan jihad di jalan-Nya melebihi segalanya? (Lihat: QS at-Taubah [9]: 24). Di antara kiat memupuk jiwa mudah berkorban adalah dengan memperkokoh keimanan pada akhirat. Kita harus meyakini bahwa besarnya pengorbanan yang kita berikan di dunia jauh lebih kecil dibandingkan dengan balasan yang bakal kita terima: surga beserta ragam kenikmatan di dalamnya. Sebaliknya, sikap mengabaikan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya hanya akan menjerumuskan pelakunya ke dalam siksa neraka yang amat dahsyat. Keyakinan inilah yang mampu menjadikan kaum Muhajirin terasa ringan melangkahkan kaki meninggalkan harta dan keluarga untuk berhijrah ke Madinah. Keyakinan ini pula yang membuat kaum Anshar bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada Rasulullah saw. dan menerima saudaranya dari kalangan Muhajirin dengan penuh rasa cinta. Karena keyakinan ini pula, kaum Muslim bersemangat melakukan futûhât hingga wilayah kekuasaan Islam terbentang luas dalam waktu yang amat cepat. Kini telah 88 tahun umat Islam hidup tanpa Khilafah. Padahal umat Islam hanya diberi masa tenggang selama tiga hari hidup tanpa seorang khalifah. Ini berarti, ketiadaan khalifah telah jauh melampaui batas waktu yang dibolehkan. Keadaan ini harus semakin melecut semangat kita untuk terus berjuang menegakkan Khilafah dan mengangkat kembali seorang khalifah. Maka dari itu, inilah saatnya kita berkorban! Saatnyalah kini kita tampil ke depan membawa panji-panji Islam, berjuang dengan segenap daya dan kemampuan menyongsong kemenangan yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hari ini kita diperintahkan untuk berkurban. Perintah ini semestinya menjadi ibrâh untuk mengorbankan apa saja yang bisa kita korbankan; tidak hanya berhenti pada berkorban dengan kambing, sapi atau unta. Lebih dari itu, kita harus sanggup mengorbankan harta, waktu jiwa dan raga kita demi tegaknya agama Allah di muka bumi. Sekaranglah saat yang tepat bagi kita untuk membuktikan ketundukan dan pengorbanan kita dalam berjuang menegakkan agama-Nya. Jangan sia-siakan kesempatan emas ini karena Allah SWT telah melebihkan derajat orang yang berjuang sebelum tegaknya Khilafah. Allah SWT berfirman: لاَ يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى Tidaklah sama di antara kalian orang yang berinfak dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang berinfak dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka balasan yang lebih baik (QS al-Hadid [57]: 10). Akhirnya, semoga Allah SWT memberi kita kesabaran, kekuatan dan kekompakan dalam upaya kita menegakkan Khilafah Islamiyah yang akan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh kehidupan kaum Muslim sekaligus menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Amin. [Disarikan dari naskah Khutbah Idul Adha 1430 H yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia] KOMENTAR ALISLAM: Amien Rais: SBY Belum Penuhi Harapan Rakyat (Republika.co.id, 24/11/2009). Harapan rakyat hanya akan terpenuhi oleh penguasa yang menerapkan syariah Islam.