Teya Salat
‘Kasus Ciketing’ dan Isu Pluralisme: Penzaliman Terhadap Umat Islam [Al Islam 523] Sebuah kampung di pojok timur Kota Bekasi tiba-tiba menjadi sorotan masyarakat. Ciketing, kampung tersebut, terletak di Kecamatan Mustika Jaya. Di tempat itu diberitakan dua orang jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) tertusuk oleh beberapa orang tepat di Hari Ketiga Idul Fitri lalu (12/9). Penzaliman Terhadap Umat Islam Tanpa meneliti lebih dulu fakta yang terjadi sebenarnya berikut akar persoalannya, sejumlah kalangan berlomba melontarkan kecaman sekaligus tuduhan yang terkesan memojokkan umat Islam. Siapa mereka? Pertama: Aktivis pluralisme, kelompok liberal, termasuk tokoh agama Kristen. Mereka ini sesungguhnya adalah kelompok minoritas. Sama dengan Kasus Monas 1 Juni 2008 saat terjadi bentrokan antara kelompok AKKBB dan umat Islam dalam rangkaian pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiah, “Kasus Ciketing” pun kemudian dijadikan alat oleh mereka untuk menzalimi umat Islam. Mereka menuduh seolah-olah umat Islamlah-yang notebene mayoritas di negeri ini-sebagai pihak yang tidak toleran, tidak menghargai kebebasan beragama, pelaku kekerasan, dll. Kedua: Media sekular (cetak dan elektronik). Seperti kelompok “paduan suara”, dalam Kasus HKBP di Ciketing ini, sejumlah media sekular menyanyikan lagu yang sama: kebebasan beragama ternoda; pluralisme terancam! Ujung-ujungnya mereka pun menjadikan umat Islam yang mayoritas sebagai pihak tertuduh dan mengklaim minoritas Kristen sebagai korban. Mereka antara lain menyuarakan, “Romo Benny: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku Kekerasan”, (Detik.com), “Kebebasan Beribadah Terancam”, (Media Indonesia), “KWI: Gejala Intoleransi Terjadi,” (Kompas.com), dll. Jika kita mencermati kasus-kasus serupa, tampak jelas bahwa media sekular sering secara sengaja menzalimi umat Islam. Dalam Kasus Monas dan Kasus Ciketing, misalnya, untuk memojokkan umat Islam, tanpa tahu malu mereka melakukan kebohongan, dengan kerap menutupi akar masalah sebenarnya. Mereka hanya memberitakan akibat, bukan sebab. Insiden Monas diberitakan sebagai “aksi kekerasan” umat Islam terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Padahal yang terjadi adalah bentrokan antara FPI dan AKKBB yang disebabkan oleh provokasi AKKBB. Begitu pula dalam Kasus Ciketing. Tiba-tiba media memberitakan peristiwa tersebut sebagai “penusukan jamaat dan pendeta Kristen” oleh warga Muslim. Padahal faktanya, itu pun hanya bentrokan dua kelompok masyarakat, yang diawali oleh provokasi HKBP. Sebagian korbannya juga adalah Muslim, bukan hanya pihak HKBP. Kasus bentrokan tersebut sesungguhnya berakar pada sikap arogan (sombong) dan pelanggaran jemaat HKBP yang selama ini tidak mematuhi instruksi Pemkot Bekasi untuk tidak beribadah di Ciketing. Sikap mereka ini telah lama menimbulkan kekesalan warga. Apalagi warga merasa terganggu karena kendaraan para jemaat sering menimbulkan kemacetan. Ketiga: Penguasa/pejabat/aparat. Menyikapi Kasus Ciketing, pihak penguasa/pejabat/aparat pun seolah kehilangan kejernihan berpikir. Mereka bersikap tidak adil. Ketidakadilan mereka antara lain tampak pada beberapa kenyataan berikut: Pendeta dan jemaat HKBP yang dirawat di rumah sakit dibesuk pejabat tinggi, mendapat perhatian khusus Presiden dan sejumlah menteri. Sebaliknya, mereka tak peduli sama sekali dengan warga Bekasi yang juga terluka dan dirawat di rumah sakit. Bahkan salah seorang dari 9 warga Bekasi yang terlibat bentrokan justru ditangkap saat sedang dirawat di sebuah rumah sakit akibat luka sabetan senjata tajam jemaat HKBP. Ketidakadilan penguasa/pejabat/aparat juga tampak pada beberapa pertanyaan pihak FPI-yang dikait-kaitkan dengan Kasus Ciketing-antara lain sebagai berikut: Mengapa para pendeta HKBP yang menjadi provokator dan pengacau tidak diperiksa aparat? Mengapa kegiatan HKBP setiap Ahad di Ciketing yang menggelar konvoi ritual liar keliling perumahan warga Muslim dengan lagu-lagu Gereja secara demonstratif tetap dibiarkan? Mengapa jemaat HKBP yang memukul dan menusuk 9 ikhwan warga Bekasi tidak ditangkap? Mengapa saat terjadi insiden kecil terhadap seorang pendeta semua teriak nyaring, tetapi ketika ribuan umat Islam dibantai di Ambon, Sampit dan Poso teriakan macam itu tak terdengar? Bahkan saat sebuah masjid dibakar di Medan belum lama ini tak ada satu pun media nasional meliputnya? Kemana suara yang selalu mengatasnamakan kebebasan beragama dan beribadah? (Fpi.or.id, 16/9/2010). Beberapa Penyebab Dari beberapa fakta di atas, jelas bahwa terjadinya sejumlah konflik yang dianggap terkait dengan agama adalah disebabkan antara lain oleh: Pertama: Tirani minoritas (non-Muslim) atas mayoritas (Muslim). Dalam Kasus Ciketing, misalnya, jelas pihak Kristenlah yang selama ini tampak tidak toleran, bersikap arogan dan nyata-nyata melakukan provokasi terhadap umat Islam. Kedua: Pelanggaran aturan oleh minoritas non-Muslim terhadap peraturan yang ada. Misal, di Bekasi sendiri berdiri tiga bangunan ilegal yang dijadikan sebagai tempat ibadah: Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Kecamatan Mustika Sari, Gereja Gelilea Galaxi di Kecamatan Bekasi Selatan dan Gereja Vila Indah Permai (VIP) di Kecamatan Bekasi Utara. Selain itu, di Jawa Barat secara keseluruhan terdapat sekitar 200 gereja bermasalah terkait perizinannya (Republika.co.id, 17/9). Pendirian gereja juga sering dengan menempuh cara-cara manipulatif, seperti pemalsuan tanda tangan warga. Ini sering terjadi di sejumlah daerah, yang pada akhirnya menjadi pemicu konflik. Contoh kecil, di Bogor Jawa Barat, Panitia pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin nyata-nyata telah memalsukan tandangan tangan warga. Dengan bekal tanda tangan warga yang dipalsukan, mereka bersikeras membangun gereja di wilayah tersebut meski mendapatkan penolakan keras warga setempat. Pluralisme: Ide Palsu dan Berbahaya Beberapa waktu lalu ribuan orang dari Jemaat HKBP, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Wahid Institute dan elemen organisasi masyarakat lain berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Ahad (15/8). Mereka menagih janji Pemerintah tentang kebebasan beragama. Sebelum ini, tampak pula gerakan sistematis yang membangun opini: di Indonesia tak ada kebebasan beragama, golongan Islam radikal menyerang golongan minoritas, gereja dirubuhkan, dll. Opini kemudian disertai dengan pernyataan bahwa pluralisme di Indonesia terancam, Pancasila terancam dan NKRI terancam. Siapa yang mengancam? Kelompok-kelompok Islam ‘radikal’ yang memperjuangkan syariah. Jelas ada penyesatan politik luar biasa di balik ini semua. Benarkah di Indonesia tak ada kebebasan beragama? Benarkah di Indonesia pembangunan gereja terhambat? Kenyataannya, menurut Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudzhar, sejak 1977 hingga 2004, pertumbuhan rumah ibadah Kristen malah lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam pada periode itu meningkat hanya 64,22 persen; sementara gereja Kristen Protestan meningkat 131,38 persen dan Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen (Republika, 18/2006). Selain itu, umat Islam selama ini tidak mempersoalkan hak umat Kristen untuk beribadah. Yang dipersoalkan umat Islam adalah pembangunan gereja yang melanggar aturan, sebagaimana terpapar di atas. Lagi pula sudah banyak terjadi gereja dijadikan basis kristenisasi untuk memurtadkan penduduk sekitar yang Muslim. Fakta-fakta seperti ini sering tak diungkap. Di sisi lain, sangat jarang di-blow-up oleh media massa bagaimana sulitnya umat Islam mendirikan masjid di tempat-tempat yang mayoritas penduduknya non-Muslim seperti di daerah Papua dan Bali. Isu pembangunan gereja ini kemudian dipolitisasi oleh kelompok-kelompok liberal untuk mengkampanyekan ide sesat mereka tentang pluralisme yang sudah difatwakan haram oleh MUI. Tidak hanya itu, isu pluralisme juga digunakan kelompok liberal untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam yang mereka cap radikal dan ingin menegakkan syariah Islam. Semua ini menunjukkan bahwa ide pluralisme adalah palsu dan berbahaya bagi umat Islam. Tegakkan Syariah, Buang Pluralisme! Secara normatif, syariah Islam adalah rahmat bagi seluruh umat manusia; Muslim maupun non-Muslim (Lihat: QS al-Anbiya. [21]: 107). Lalu terkait keyakinan non-Muslim, Islam telah melarang siapapun untuk memaksa non-Muslim masuk Islam: لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ Tak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (QS al-Baqarah [2]: 256). Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) warga negara non-Muslim disebut dengan kafir dzimmi. Mereka diperlakukan sama dengan warga negara Muslim. Kedudukan ahludz-dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Siapa saja membunuh mu’ahid (orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun.” (HR Ahmad). Menurut Imam Qarafi, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahludz-dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga…” Adapun secara historis, penghargaan dan perlindungan Islam terhadap non-Muslim diakui oleh T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, saat menuliskan bagaimana perlakuan baik yang diterima non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman-selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani-telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa… Kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam…Kaum Cossack, yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.” T.W. Arnold juga menulis, “Saat Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan atas kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan untuk Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya-hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios bahkan diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri…” Demikianlah, dalam sistem Khilafah selama berabad-abad-tentu dengan penerapan syariahnya-orang-orang non-Muslim diperlakukan dengan sangat baik, tak hanya menyangkut kebebasan atas keyakinan mereka, tetapi juga keamanan harta dan jiwa mereka serta kesejahteraan mereka. Walhasil, mari tegakkan syariah dan Khilafah, serta buang pluralisme! Wallahu a’lam bi ash-shawab. [] KOMENTAR: Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi menguntungkan SPBU asing (Republika, 21/9/2010). Satu lagi bukti, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi hanya untuk kepentingan kaum kapitalis dan tidak untuk kepentingan rakyat.