BABAK BARU PERANG
MELAWAN TERORISME?
[Al-Islam 478] Tiga bulan pasca
Tragedi JW Marioot-Rizt Carlton,
isu terorisme terus berjalan
berkesinambungan. Bahkan,
terbunuhnya sejumlah para
pelaku teror, tetap tidak
menjadikan agenda terorisme ini
berakhir. Justru tampak ada
upaya yang lebih sistematis
untuk mengembangkan isu
terorisme ini bukan lagi untuk
menindak para pelaku teror atau
kekerasan, melainkan menindak
setiap upaya untuk menegakkan
Islam itu sendiri.
Lihat saja, labelisasi dan
pengaitan aksi kekerasan
dengan umat Islam yang
dianggap memiliki agenda
formalisasi syariah Islam. Padahal,
banyak pengamat menilai, upaya
pengaitan ini tampak dipaksakan,
karena adanya jarak yang
sangat jauh antara motif dan
aksi sebagai metode untuk
mewujudkan agenda-agenda
kelompok yang dituding sebagai
pelaku teror.
Belum lagi penangkapan oleh
polisi terhadap 335 orang lebih
yang disangka terkait dengan
aksi teror. Begitu pula eksekusi
oleh polisi terhadap 9 orang
dalam drama di Temanggung,
Jebres dan Ciputat yang
ditayangkan TV, yang seakan
tidak ada hak sama sekali bagi
orang yang disangka “teroris”
untuk membuktikan dirinya
teroris atau tidak, dan
mendapatkan peradilan yang
transparan dan jujur di depan
hukum.
Dari sudut pandang Hak Asasi
Manusia (HAM), penanganan
tersangka kasus teror oleh polisi
juga diduga sarat dengan
pelanggaran, seperti penetapan
atau pengumuman orang masuk
dalam DPO (daftar pencarian
orang). Upaya ini dianggap tidak
sesuai dengan prinsip praduga
tak bersalah dan bertentangan
dengan pasal 19 ayat 1 UU HAM.
Intinya, tidak boleh pihak
kepolisian mengumumkan
seseorang masuk dalam DPO
sebelum adanya putusan
pengadilan. Demikian seperti
diungkapkan oleh salah satu
anggota Komnas HAM,
Saharuding Daming (Detiknews,
26/8/09).
Selain itu, TV dan media massa
yang lainnya pun telah dikontrol
dan dipaksa berpihak kepada
satu pihak, tanpa memberikan
ruang yang cukup untuk
melakukan klarifikasi kepada
pihak lain. Opini pun dibentuk dan
diarahkan untuk mengadili
tersangka, dan membenarkan
tindakan pengadilan sepihak itu.
Babak Baru Pemerintahan
Baru
Kabinet baru pemerintahan SBY
memasukkan agenda Perang
Melawan Terorisme sebagai
bagian dari program 100 hari
pertama di bawah Menko
Polhukam Marsekal (Purn.) Djoko
Suyanto. Satu pertemuan
National Summit, yang salah satu
topik utamanya adalah
terorisme, akan digelar pada
29-31 Oktober 2009 di Jakarta.
Pertemuan ini merupakan ajang
dialog pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah dalam isu
terorisme. Dalam pertemuan ini
akan dibentuk komisi khusus
penanganan terorisme
(Detiknews, 25/10/09).
Sementara itu, dari diskusi yang
diselenggarakan oleh CIDES
dengan bertajuk, “Kepemimpinan
SBY, Gerakan Terorisme dan
Masa Depan Demokrasi Indonesia”
di Hotel Sahid Jakarta (22/10/09)
baru-baru ini, Ketua Desk
Koordinator Pemberantasan
Terorisme di Kementerian
Kordinator Polhukam Ansyaad
Mbai, melalui pernyataan dan
makalah akademiknya, tampak
berupaya mengaitkan dan
menggeneralisasi tindakan dan
kelompok teror sehingga
mencakup semua kelompok dan
umat Islam yang mengusung
agenda penegakkan syariah.
Akhirnya, upaya kontra
terorisme pun bergeser pada
penindakan apa yang disebutnya
sebagai radikalisme agama,
sehingga perlu ada upaya
deradikalisasi. Tetapi, apa
sesungguhnya radikalisme,
batasan dan bentuknya?
Ternyata tidak jelas.
Pertanyaan yang lebih penting
dari semuanya itu adalah: jika
perang melawan terorisme telah
berubah dari memerangi pelaku
teror atau kekerasan, kepada
perang melawan perjuangan
menegakkan kembali syariat
Islam, lalu untuk kepentingan
siapa perang ini?
Karena itu, jawabannya mudah.
Jelas bukan untuk kepentingan
Islam dan umatnya. Juga bukan
untuk kepentingan Indonesia
yang mayoritas penduduknya
Muslim. Meski sering kali
menggunakan kedok untuk
menyelamatkan Indonesia.
Sejak awal, Hizbut Tahrir
menyatakan dengan tegas,
bahwa Perang Melawan
Terorisme yang sesungguhnya
adalah perang melawan Islam.
Perang ini juga bukan untuk
kepentingan Islam dan umatnya,
tetapi untuk kepentingan
negara-negara penjajah. Karena
Islam dianggap sebagai ancaman
potensial setelah runtuhnya
Sosialisme dan Komunisme. Hanya
saja, ada dua skenario yang
mereka lakukan.
Pertama, mereka tidak akan
menyerang langsung Islam, tetapi
dengan menyamarkan serangan
terhadap Islam itu dengan
Perang Melawan Terorisme,
Radikalisme atau
Fundamentalisme, atau
ungkapan-ungkapan kamuflase
yang lainnya. Sebab, kalau
mereka menyatakan secara
terbuka perang melawan Islam,
pasti mereka tidak akan menang.
Kedua, mereka juga tidak akan
melakukan peperangan secara
langsung dengan umat Islam,
terutama setelah mereka
membuktikan sendiri bahwa umat
Islam tidak akan bisa dikalahkan,
baik di Irak, Afganistan maupun
Pakistan. Karena itu, mereka pun
meminjam tangan-tangan orang
Islam untuk berperang melawan
orang Islam. Mereka membentuk
pemerintah boneka di Irak,
Afganistan dan Pakistan atau
negeri-negeri kaum Muslim yang
lain, yang menjadi kepanjangan
tangan (antek) mereka untuk
memerangi orang-orang Islam
yang dianggap mengancam
kepentingan mereka, dengan
dalih Perang Melawan Terorisme
dan sebagainya.
Dengan dua skenario tersebut
mereka pun melakukan
pemetaan, atau tepatnya politik
belah bambu: yang satu diinjak,
yang satu diangkat. Apa yang
sekarang dijadikan musuh
mereka, yaitu Radikalisme dan
Fundamentalisme mereka injak,
sementara Liberalisme,
Inklusifisme atau Moderat
mereka angkat dan promosikan.
Selain itu, upaya deradikalisasi
ideologi radikal juga mereka
lakukan, antara lain dengan: (1)
Pemberdayaan tokoh-tokoh
moderat agama untuk
menyebarluaskan ajaran
moderat; (2) Interfaith dialogue
(dialog antariman); (3)
Menyebarluaskan buku-buku
ajaran agama moderat; (4)
Kurikulum lembaga-lembaga
pendidikan keagamaan yang
moderat; (5) Program rehabilitasi
para teroris pada masa
penahanan, menjalani hukuman di
LP dan setelah menjalani
hukuman; (6) Kemitraan dengan
lembaga-lembaga kultural/budaya
untuk menyosialisasikan bahaya
terorisme serta menetralisasi
radikalisme dan budaya
kekerasan (Disarikan dari bahan
Lokakarya Sespim 27/10/09:
Kebijakan Penanggulangan
Terorisme di Indonesia, oleh
Ketua Desk Koordinasi
Pemberantasan Terorisme (DKPT)
Irjen (Purn) Pol. Drs.
AnsyaadMbai).
Wahai kaum Muslim:
Umat Islam yang makin “melek
politik” akhirnya bisa menangkap
secara pelan dan pasti pesan
yang disampaikan di balik
eksploitasi oleh media massa
(cetak dan elektronik) dalam isu
terorisme. Islam dan umatnya
menjadi bidikan, ditempatkan
pada posisi tertuduh dan
terfitnah tanpa ada proses
dialog yang transparan dan
obyektif. Karenanya, logis jika
pada setiap kesempatan,
munculnya isu terorisme dijadikan
pintu masuk untuk membangun
alur cerita (narasi) sedemikian
rupa dengan dukungan media
massa sepenuhnya yang
kesimpulannya: kaum Muslim yang
menggusung upaya penegakkan
syariah Islam dicap sebagai
kelompok radikal dan menjadi
akar dari tindakan-tindakan
ekstrem dan terorisme.
Denga memperhatikan penjelasan
di atas, umat Islam sejatinya
sadar bahwa ada upaya
sedemikian rupa untuk
membangun alur berpikir:
terorisme terkait dengan upaya
penegakkan syariah Islam di
muka bumi ini. Semua ini tentu
sudah sangat menyimpang dan
lebih merupakan upaya
menghakimi umat Islam secara
sepihak. Jelas, upaya ini sangat
berbahaya dan bisa memecah-
belah umat dan negeri ini.
Lagipula umat bisa melihat
adanya gap (jarak) antara motif
(menegakkan syariah Islam) dan
aksi yang tidak nyambung (aksis-
aksi teror). Sebab, sesungguhnya
menegakkan syariah Islam atau
membangun Khilafah yang
menegakkan syariah Islam
tidaklah mungkin bisa diupayakan
lewat cara-cara teror seperti
pengeboman atau aksi
kekerasan yang lainnya. Apalagi
dengan berpijak dan meneladani
dakwah Rasulullah saw. dalam
rangka mendirikan Daulah
Madinah, maka sesungguhnya
tidak ada satu pun dalil (nash)
al-Quran maupun as-Sunnah
yang mengajarkan tindakan-
tindakan kekerasan untuk
menegakkan syariah Islam dan
Daulah Islam.
Selain itu, upaya penanganan
terorisme dengan memperkuat
legal frame akan berpotensi
melahirkan ironi demokrasi, yang
menjunjung freedom of speech
dan HAM. Sebab, dengan itu,
akan mungkin lahir undang-
undang yang sangat represif,
baik dengan kedok UU Keamanan
Negara, UU Intelijen, amandemen
UU Tindak Pidana Terorisme atau
yang lain, yang bisa memayungi
setiap tindakan kekerasan atas
nama kepentingan nasional
terhadap setiap sasaran yang
dianggap mengancam
kepentingan penguasa.
Karena itu, sebagian pengamat
politik telah mengkhawatirkan
keadaan seperti ini, apalagi
penguasa saat ini merasa sangat
memiliki kuasa secara legal, baik
di DPR maupun di Kabinet. Tidak
menutup kemungkinan, setiap
orang atau warga negara
Indonesia akan diadili dan
dihukum hanya karena
pemikirannya, meski yang
bersangkutan tidak pernah
melakukan aksi-aksi kekerasan.
Dari sini terlihat, tidak ada upaya
untuk membedakan atau bahkan
memang secara sengaja ada
upaya untuk mengeneralisasi
tindakan terorisme sama dengan
pemikiran-pemikiran yang
dianggap berseberangan dengan
penguasa.
Begitu pula pada bagian
deradikalisasi, umat bisa
menyimpulkan bahwa Pemerintah
akan melakukan tindakan-
tindakan sistemik dalam upaya
penguatan arus Islam moderat.
Upaya ini dimaksudkan untuk
memoderatkan kaum Muslim atau
—dalam bahasa yang lebih pas—
menjaga sekularisme tumbuh dan
hidup di negeri kaum Muslim,
khususnya di Indonesia, dan
membabat Islam. Upaya ini
sekaligus dimaksudkan agar umat
Islam menjadi toleran dan sangat
pro ideologi Barat dan
kepentingan (penjajahan)
mereka. Padahal jelas,
Sekularismelah biang segala
kehancuran di negeri ini. Di sisi
lain, upaya ini justru akan
menghalangi upaya penyelamatan
Indonesia yang sesungguhnya
sedang terpuruk dengan syariat
Islam. Karena syariah Islamlah
yang bisa mengantarkan negeri
ini menuju kemakmuran dan
kesejahteraan yang hakiki dunia-
akhirat. Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ
مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ
كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ )٩٦ )
Jika penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu. Karena itu, Kami menyiksa
mereka disebabkan karena
perbuatan mereka (QS al-A’raf
[7]: 96).
Tegaknya syariah Islam di negeri
ini secara kaffah adalah ciri,
bahwa umat ini bertakwa.
Wahai kaum Muslim:
Perjuangan penegakkan syariah
Islam adalah kewajiban dari Allah
yang tidak bisa dihentikan
karena hujan fitnah atau
tindakan yang lebih buruk dari
semua itu. Dalam hal ini Allah SWT
justru telah memberikan janji
kemenangan-Nya kepada siapa
saja yang menolong agama-Nya,
termasuk tentu saja para
pejuang syariah. Allah SWT
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ
وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ )٧ )
Hai orang-orang yang beriman,
jika kalian menolong (agama)
Allah, niscaya Dia akan menolong
kalian dan meneguhkan
kedudukan kalian (QS
Muhammad [47]: 7).[]
KOMENTAR:
Jampidsus, Tak ada pelanggaran
hukum dalam kasus Bank
Century. (Kompas, 27/10/09)
Inilah cermin rusaknya sistem
kapitalisme. Para pemilik modal
penjarah uang rakyat, mudah
lolos dari jeratan hukum.